REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aksi boikot produk yang dinilai berafiliasi dengan Israel masih terus berlangsung. Bahkan sejumlah pelaku usaha mulai mengganti bahan bakunya ke produk lain yang tidak pro-Israel.
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Yusuf Rendy Manilet menilai, aksi boikot akan terus dilakukan sepanjang konflik antara Israel dan Palestina masih terjadi. Apalagi jika tidak ada komunikasi publik dari produk yang diboikot ke konsumen di dalam negeri.
"Maka saya kira penurunan produk konsumsi yang berkaitan dengan Israel itu masih relatif akan terjadi dalam jangka pendek," ujarnya kepada Republika, Ahad (19/11/2023).
Ia menuturkan, gerakan boikot ini bukan tanpa dasar, karena ini dilakukan guna menekan terjadinya gencatan senjata dari konflik geopolitik antara Israel dan Palestina. Tidak dipungkiri, kata dia, ada faktor maupun konsekuensi yang muncul dari gerakan boikot produk yang dilakukan masyarakar termasuk Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Ditambah lagi, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga sudah mengeluarkan fatwa haram mengonsumsi berbagai produk yang berkaitan dengan Israel.
Maka, sambungnya, hal itu akan semakin menguatkan aksi boikot dalam skala lebih luas. Fatwa MUI, jelas dia, menjadi pegangan bagi UMKM guna turut melakukan pemboikotan.
"Adanya fatwa itu juga akan menjadi pegangan terutama bagi pelaku UMKM di dalam negeri agar fokus atau konsen terhadap masalah. Ini mengingat konsumen mereka relatif banyak ke konsumen Muslim dan punya awareness terkait konflik antara Israel dan Palestina," ujar Yusuf Rendy.
Perlu diketahui, ada beberapa merek usaha yang sudah mengganti bahan bakunya seperti Bittersweet by Najla dan Donat Bahagia. Keduanya mengumumkan langsung lewat akun Instagram masing-masing.