Oleh Cipto Utomo, Magister Ilmu Komunikasi, Universitas Muhammadiyah Jakarta
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bulan September silam, jagat perpolitikan tanah air dihebohkan dengan munculnya bakal calon presiden yang diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Ganjar Pranowo dalam tayangan adzan maghrib di salah satu stasiun televisi yaitu MNC TV.
Selain dari sisi pro kontra mengenai penggunakan ruang publik (public sphere) sebagai media “kampanye” dini kandidat salah satu capres, tentu saja publik juga tidak bisa berpaling pada fakta bahwa MNC TV merupakan salah satu media yang dimiliki oleh pendiri sekaligus ketua umum partai pendukung Ganjar Pranowo, yaitu Partai Perindo.
Dari sisi ini, publik tentunya bertanya-tanya, apakah media televisi telah menunjukkan netralitasnya dalam kontesatasi politik jelang Pilpres 2024?
"Sebagai media yang memanfaatkan frekuensi publik, saya juga menekankan agar penyelenggara penyiaran nasional menjaga netralitas, tidak mendukung salah satu partai atau paslon. Media agar berlaku secara seimbang. Liput kedua sisi, dan sesuai dengan peraturan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Bawaslu, dan perundangan lainnya," demikian pernyataan Wapres Ma’ruf Amin saat acara HUT ke-12 Kompas TV pada Senin 11 September 2023.
Menelisik jejak MNC TV sendiri dalam menciptakan preferensi politik, publik dapat melihat bagaimana stasiun TV ini sejak lama rajin menayangkan iklan Partai Perindo. Saking gencarnya, sampai anak-ana kecilpun yang notabene bukan target “market” iklan politik itu hapal lagu mars Perindo yang liriknya diciptakan oleh Ketua Umum Kartini Perindo Liliana Tanoesoedibjo, yang juga istri Ketum Perindo dan pemilik MNC Grup. Tidak berhenti sampai di sini, publik juga dapat menyaksikan kesungguhan keluarga Hari Tanoe dalam kontestasi poltik melalui Pileg DPR RI 2024. Ada sebanyak 7 anggota dari keluarga pemilik MNC Group tersebut yang nyaleg, berdasarkan daftar calon sementara Komisi Pemilihan Umum (KPU), yaitu Hari Tanoe, istri, dan kelima anaknya.
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah MNC TV menjadi satu-satunya televisi nasional yang potensial menjadi “tertuduh” sebagai corong kepentingan politik khususnya dalam kontestasi Pilpres 2024?
Dalam keputusan resmi KPU yang menetapkan tiga paslon capres-cawapres, nampak jelas bahwa Partai Perindo recara sah dan meyakinkan menjadi partai pendukung paslon no. 3 Ganjar-Mahfud MD. Hal ini seakan menguatkan kecurigaan publik tentang adanya kampanye terselubung dalam tampilnya Ganjar Pranowo di tayangan adzan maghrib MNC TV kian terbukti.
Pasalnya, MNC TV bukanlah satu-satunya media televisi yang dimiliki oleh konglomerat pemilik media yang juga sebagai pengusung atau pendukung paslon. Tercatat, Metro TV yang menjadi bagian dari Media Grup juga diduga menjadi “corong” paslon no. 1 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar. Hal yang dirasa menguatkan dugaan ini adalah kepemilikan Media Grup oleh Surya Paloh yang merupakan pendiri dan sekaligus ketua dewan pembina Partai Nasdem. Partai Nasdem sediri adalah pengusung paslon Anies-Muhaimin.
Selanjutnya, meskipun saat ini pemiliknya tidak lagi menjabat sebagai ketua umum, namun Aburizal Bakrie yang saat ini masih aktif sebagai ketua Dewan Pembina Partai Golkar, adalah pemilik Bakrie Grup yang salah satunya adalah TV One. Betul, TV One dianggap publik sebagai TV yang memiliki kedekatan dengan partai Golkar yang merupakan pengusung paslon no 2 Prabowo-Gibran.
Konglomerasi Media dan Tantangan Netralitas Pemilu Presiden
Menjelang pilpres 2024 ini partai politik dan tim pemenangan paslon baik secara perorangan maupun kelompok berupaya memanfaatkan kekuatan media massa yang dapat mempengaruhi opini publik. Sebagai bagian dari sebuah konglomerasi bisnis, media yang seharusnya menyajikan berita dan informasi yang netral dan seimbang, faktanya mereka tunduk pada preferensi ekonomi dan politik pemiliknya.
Melalui kacamata ekonomi politik media, Vincent Mosco (peneliti dan penulis buku ekonomi politik komunikasi dari Harvard University), memaparkan bawa melalui komodifikasi, spasialisasi, dan strukturasi, media massa dapat digunakan oleh pemiliknya untuk mendapatkan keuntungan. Mengapa demikian?
Sebab pada umumnya latar belakang pemilik media adalah pengusaha atau politisi (bahkan bisa dua-duanya, pengusaha sekaligus politisi), jadi sebisa mungkin apa saja yang dimiliki dan dapat diberdayakan, dapat digunakan untuk menghasilkan keuntungan secara ekonomi dan politik.
Tidak salah jika mantan Presiden RI, Baharuddin Jusuf Habibie saat memberikan orasi usai menerima penghargaan Medali Emas Kemerdekaan Pers dalam rangka Hari Pers Nasional 2013 di Menado (9/2/2013) mengatakan dominasi arus pemberitaan oleh jaringan media massa seperti yang terjadi saat ini secara sistematik membatasi ruang gerak media massa dan berlawanan dengan konsep kebebasan pers. Menurutnya, untuk membebaskan pers dari pengaruh kepentingan politik dan bisnis, salah satu upaya yang harus dilakukan adalah merevisi
Undang-Undang Penyiaran, terutama soal kepemilikan suatu kelompok usaha atas beberapa media. (Jaduk Gilang Pembayun, KONGLOMERASI MEDIA DAN DAMPAKNYA PADA PILPRES 2014 JURNAL INTERAKSI, Vol 4 No 2, Juli 2015 : 109 -116)
Habibie menggarisbawahi yang perlu diwaspadai, bahkan diatur adalah bila pemilik jaringan media tersebut aktif di dunia politik. Pencegahan pengaruh kepentingan politik terhadap kalangan pers harus dilakukan, termasuk hal-hal menyangkut masalah kepemilikan media, khususnya jika pemilik media aktif berkecimpung dalam dunia politik.
Peran dan kebebasan pers memang perlu diberi perhatian khusus agar pers jangan dianggap semata-mata hanya milik para wartawan, pengelola media, atau pengusaha media saja, tetapi kebebasan pers adalah milik semua warga. Oleh karena itu, kata dia, masyarakat seharusnya ikut membantu melengkapi atau menyeimbangkan pemberitaan untuk kepentingan seluruh masyarakat itu sendiri.
Meskipun adanya konglomerasi media ini bukanlah hal terlarang, mengingat salah satu fungsi media massa adalah untuk tujuan ekonomi, hal ini tetap saja menimbulkan kekhawatiran akan hadirnya dampak negatif terhadap perkembangan sistem media di Indonesia dan juga dikhawatirkan akan berdampak pada isi konten yang ditampilkan dan disampaikan kepada masyarakat.
Kini, terlepas publik tutup mata atau buka mata terhadap dugaan kecenderungan keberpihakan media televisi tertentu terhadap paslon presiden tertentu, pastinya masih terselip harapan agar media televisi dapat tetap netral dan berimbang dalam pemberitaan dan penyebaran informasi terkait paslon yang diusung dalam kontestasi pilpres 2024.
Walau bagaimanapun, justifikasi publik terhadap netralitas dan keberimbangan konten berita dan informasi dari televisi pada akhirnya akan menjadi alasan tersendiri apakah publik akan tetap loyal sebagai customer loyal ataukah tidak.
Atas dasar alasan ekonomi dan politik, konglomerat pemilik media boleh saja menjadikan medianya sebagai sarana kampanye paslon tertentu, tapi perlu diingat juga bahwa atas alasan ekonomi (dan politik juga), mereka juga berharap dapat menggaet publik pendukung paslon “lawan” sebagai customer-nya. Oleh karena itu, para konglomerat dan operator televisi harus pandai-pandai menempatkan diri, membangun positioning, dan menampilkan konten yang dalam pandangan publik dinilai cukup netral dan berimbang.
Pada akhirnya, konglomerat media boleh punya motif dan mampu melakukan komodifikasi, spasialisasi, dan strukturasi untuk memuluskan misi politiknya, tapi pada akhirnya rating dan loyalitas pelanggan juga menjadi pertimbangan yang tidak boleh disepelekan. Jadi, silakan memilih apakah tetap akan bermain-main dengan hard selling komoditas politik atau tetap berusaha (atau minimal menampilkan citra) netral dan berimbang.