REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Uni Eropa berjanji untuk memberikan kontribusi yang substansial untuk dana kerusakan iklim bagi negara-negara yang rentan. Janji tersebut diumbar pada Senin, menjelang KTT Iklim PPB (COP28) di Dubai.
COP28 yang akan dihelat mulai 30 November hingga 12 Desember akan membahas beberapa isu iklim, termasuk memperkenalkan mekanisme dana "kerugian dan kerusakan" (loss and damage). Hal ini dilaporkan akan menjadi salah satu pembahasan prioritas dalam COP28.
Selama bertahun-tahun, negara-negara berkembang dan miskin berpendapat bahwa dana tersebut diperlukan untuk membantu mereka pulih dari bencana alam yang dipicu oleh perubahan iklim. Karena itu, perkenalan dana tersebut kemungkinan besar akan memiliki pengaruh besar pada COP28, dimana negara-negara juga akan bergumul mengenai tuntutan penghapusan bahan bakar fosil.
Janji Uni Eropa untuk dana kerugian dan kerusakan diumumkan dalam sebuah pernyataan bersama oleh Komisioner Iklim Eropa Wopke Hoekstra dan Sultan Al Jaber, Presiden COP28 sekaligus Menteri Industri dan Teknologi Maju Uni Emirat Arab, setelah pembicaraan di Brussels.
“Presidensi COP28 dan komisioner menekankan pentingnya mengoperasionalkan pengaturan pendanaan kerugian dan kerusakan di COP28 termasuk janji awal. Komisioner siap untuk mengumumkan kontribusi finansial yang substansial oleh Uni Eropa dan negara-negara anggotanya untuk dana kerugian dan kerusakan di COP28,” demikian kata pernyataan tersebut seperti dilansir National News, Selasa (21/11/2023).
Uni Eropa tidak memberikan angka spesifik terkait rencana alokasi dana kerugian dan kerusakan iklim bagi negara berkembang-miskin. Namun demikian, wacana ini disambut baik oleh berbagai pihak.
Dalam sebuah pernyataan terpisah, Al Jaber menyambut baik janji Uni Eropa tersebut dan mengatakan bahwa dana tersebut akan berdampak pada milyaran orang, kehidupan dan mata pencaharian yang rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Lembaga non-profit Climate Action Network juga menyambut baik janji tersebut sebagai momentum yang sangat dibutuhkan untuk membantu masyarakat pulih dari dampak perubahan iklim yang parah, seperti kegagalan panen yang berulang akibat cuaca yang tidak menentu dan ekstrim, dan naiknya permukaan air laut.
“Tapi dana tersebut harus diberikan sebagai hibah, bukan pinjaman, untuk menghindari memperparah krisis utang di negara-negara berkembang yang sudah berjuang dengan berbagai tantangan", ujar kepala strategi politik Climate Action Network, Harjeet Singh.
Awal bulan ini, para negosiator mencapai kompromi untuk meminta Bank Dunia menjadi "tuan rumah dana" tersebut untuk sementara waktu selama empat tahun. Negara-negara berkembang pada awalnya menentang hal tersebut, dengan alasan bahwa lembaga ini dikhawatirkan didominasi oleh negara-negara Barat dan tidak disesuaikan dengan kebutuhan mereka.
Amerika Serikat juga keberatan karena mereka ingin kontribusi yang diberikan bersifat sukarela dan negara-negara berkembang yang kaya seperti Arab Saudi juga harus membayar. Dalam pernyataan mereka, Hoekstra dan Al Jaber menekankan bahwa COP28 merupakan kesempatan penting untuk menunjukkan persatuan dan mengembalikan kepercayaan terhadap multilateralisme di dunia yang terpolarisasi melalui keterlibatan yang positif dan berorientasi pada tindakan dan hasil.