REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Psikolog anak Universitas Airlangga (Unair) Atika Dian Ariana menyoroti fenomena maraknya kasus self-harm di kalangan remaja, utamanya mereka yang masih duduk di bangku SMP. Self-harm adalah sebuah tindakan menyakiti diri sendiri untuk menghilangkan frustrasi, stres, dan berbagai macam emosi.
Atika berpendapat, perilaku tersebut muncul tak lepas dari pengaruh media sosial. Atika menjelaskan, di usia SMP, anak-anak masih berada pada fase pubertas, dimana perilaku belajar amati dan meniru menjadi ciri khas.
"Mereka terpapar tayangan sosial media secara terus-menerus, dan mungkin melihat self-harm sebagai cara efektif untuk mendapatkan perhatian atau mengekspresikan diri. Motifnya bervariasi, ada yang karena perhatian, ada pula yang benar-benar mengalami self-harm," kata Atika, Selasa (21/11/2023).
Atika mengatakan, anak SMP yang terpapar tayangan di media sosial secara berlebihan cenderung menganggap self-harm sebagai metode efektif untuk mencapai tujuan tertentu. Baik tujuan mendapatkan perhatian atau sebagai bentuk pengalihan dari masalah psikologis yang sulit diatasi.
Ia melanjutkan, salah satu tantangan utama yang dihadapi dalam menangani kasus self-harm di kalangan anak SMP adalah membedakan antara tindakan nyata dan perilaku meniru. "Penting sekali memberikan perhatian pada perubahan perilaku dan mencari bantuan profesional ketika diperlukan," ujarnya.
Atika melanjutkan, dampak self-harm tidak hanya bersifat fisik yang melibatkan luka dan rasa sakit sementara, tetapi juga mencakup dampak psikologis yang kompleks. Setelah merasakan lega, individu sering mengalami perasaan bersalah, berdosa, dan malu. Hal ini dapat memicu isolasi sosial, konflik keluarga, dan meningkatkan tingkat kesepian.
"Pemahaman mendalam terhadap kompleksitas perilaku ini menjadi kunci dalam upaya menciptakan lingkungan yang lebih aman dan mendukung bagi generasi muda," ucapnya.