Selasa 21 Nov 2023 13:29 WIB

Keluarga Sandera Israel Tolak RUU Hukuman Mati Bagi Tahanan Palestina

Menurut data Israel, sekitar 240 orang disandera oleh Hamas.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nidia Zuraya
Tiang gantungan hukuman mati. Ilustrasi
Foto: .
Tiang gantungan hukuman mati. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Kerabat dari beberapa tawanan yang ditangkap oleh Hamas dalam serangan 7 Oktober telah mendesak anggota parlemen sayap kanan Israel untuk tidak mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) hukuman mati terhadap tahanan Palestina. Rencana itu telah diajukan oleh partai sayap kanan Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir Otzma Yehudit atau Jewish Power di parlemen Israel atau Knesset.

“Undang-undang hukuman mati bagi teroris bukan lagi soal kiri dan kanan. … [Ini] merupakan hukum moral dan penting bagi negara Israel," ujar Ben-Gvir pada Senin (20/11/2023)

Baca Juga

Pengumuman ini membuat para kerabat sandera mengatakan kepada panel parlemen bahwa pembahasan hukuman mati dapat menimbulkan konsekuensi yang sangat buruk bagi orang-orang yang mereka cintai. “Itu berarti bermain-main dengan permainan pikiran mereka dan sebagai imbalannya, kita akan mendapatkan foto orang-orang yang kita cintai dibunuh, berakhir, dengan negara Israel dan bukan mereka [Hamas] yang disalahkan,” ujar Yarden Gonen yang saudara perempuannya, Romi termasuk di antara para sandera.

“Jangan mengejar ini sampai mereka kembali ke sini. Jangan taruh darah adikku di tanganmu," ujarnya dikutip dari Aljazirah.

Menurut data Israel, sekitar 240 orang disandera oleh Hamas saat kelompok itu berhasil menerobos perbatasan Israel. Keluarga para sandera khawatir bahwa diskusi mengenai eksekusi pun akan menimbulkan bahaya bagi kerabatnya.

Gil Dilkma, sepupu salah satu tawanan, memohon kepada Ben-Gvir untuk membatalkan RUU tersebut. “Hapus undang-undang itu kalau kamu punya hati,” ujarnya.

Senada dengan para kerabat sandera, Missing Families Forum mengatakan dalam sebuah pernyataan, diskusi semacam itu membahayakan kehidupan orang-orang yang tercintai tanpa mempromosikan tujuan publik apa pun. Sedangkan, anggota keluarga lain dari salah satu tawanan menyuarakan keprihatinan ini sambil berteriak.

“Berhenti bicara tentang pembunuhan orang Arab. Mulailah berbicara tentang menyelamatkan orang Yahudi!” katanya.

Beberapa politisi sayap kanan menanggapi keberatan ini dengan rasa khawatir. Anggota Otzma Yehudit Almog Cohen membalas desakan-desakan itu dengan menyatakan bahwa mereka tidak bisa memonopoli rasa sakit.

“Anda membungkam keluarga lain,” kata politisi sayap kanan lainnya.

Beberapa politisi Israel di masa lalu berpendapat bahwa lebih banyak eksekusi akan berfungsi untuk mencegah terorisme. Satuan tugas dibentuk oleh Kementerian Kehakiman Israel bulan ini.

Komite itu menentukan hukuman yang sesuai dengan tingkat keparahan yang dilakukan bagi mereka yang diadili dan dihukum. Dalam pembahasan itu hukuman mati kemudian diubah menjadi sebuah pilihan.

Ben-Gvir menyerukan penerapan hukuman mati. Dia mengatakan bahwa melakukan hal ini lebih penting daripada sebelumnya dengan mencatut nama korban dan sandera.

Tapi, Partai Likud yang konservatif dan dipimpin oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu tidak menunjukkan minat untuk memajukan RUU tersebut selama masa pemerintahannya yang panjang. Satu-satunya hukuman mati yang diperintahkan pengadilan di Israel terjadi pada 1962.

Hukuman ini diberikan kepada terpidana penjahat perang Nazi, Adolf Eichmann, yang dieksekusi dengan cara digantung. Pengadilan militer Israel yang sering menangani kasus-kasus yang melibatkan warga Palestina mempunyai wewenang untuk menjatuhkan hukuman mati melalui keputusan bulat tiga hakim, tetapi hal ini tidak pernah dilaksanakan. 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement