Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rahma Syifa alya

Pengaruh Perceraian Orang Tua Terhadap Kesehatan Mental Anak

Edukasi | Tuesday, 21 Nov 2023, 17:54 WIB
source image: pexels.com/peopleImages

Di Indonesia, kasus yang paling sering terjadi serta melibatkan masalah keluarga adalah perceraian. Menurut data.goodstates.id berdasarkan laporan Statistik Indonesia tahun 2023, kasus perceraian di Indonesia mencapai 516.334 kasus pada tahun 2022. Jelas, angka ini meningkat 15% dibandingkan tahun 2021 yang mencapai 447.743 kasus. Banyaknya kasus perceraian yang terjadi ini merupakan angka perceraian tertinggi dalam enam tahun terakhir.

Lalu, apa penyebabnya?

Menurut databoks.katadata.co.id, perselisihan dan pertengkaran menjadi faktor utama penyebab perceraian nasional sepanjang tahun lalu. Jumlahnya mencapai 284.169 kasus, setara dengan 63,41% dari total faktor penyebab kasus perceraian di tanah air. Selanjutnya, faktor ekonomi juga menjadi penyebab, yakni 110.939 kasus (24,75%).

Perselisihan dan pertengkaran menjadi penyebab utama perceraian yang paling banyak terjadi di Indonesia. Entah karena permasalahan ekonomi, perselingkuhan, ataupun yang lainnya, ketika pertengkaran terjadi di rumah antara kedua orang tua, pastilah keluarga menjadi subjek yang sangat dirugikan, terutama pada anak.

Apa dampak perceraian pada anak?

Perceraian terhadap orang tua sangat berdampak bagi psikologis anak, terutama pada kesehatan mentalnya. Anak yang mengalami broken home cenderung lebih sensitif terhadap sesuatu yang mengganggu emosionalnya, seperti yang dikutip dari psikologi.uma.ac.id. Perceraian orang tua dapat menimbulkan rasa kehilangan, duka, gundah, takut dan marah. Tidak jarang anak merasa marah atau justru menyalahkan diri sendiri sebagai penyebab perpisahan orang tuanya.

Selain persoalan emosional, banyak juga akibat dari perceraian orang tua yang akan dialami oleh anak dan berlaku hingga jangka panjang, seperti berikut:

Gangguan Perilaku

Pada gangguan perilaku anak mengalami suasana hati yang tidak menentu. Sebagian dari mereka menarik diri dari pergaulan, enggan bersosialisasi, dan kurang percaya diri. Mereka mengalami kesulitan dalam membentuk hubungan yang stabil, kecenderungan untuk mengekspresikan emosi secara tidak sehat, atau bahkan mengalami masalah akademis. Hal ini disebabkan oleh pendidikan emosional yang mereka saksikan ketika dirumah, yaitu pertikaian orang tuanya, sehingga anak merasa bahwa dirinya dapat mencontoh apa yang orang tua lakukan dirumah, seperti berkelahi. Hal ini juga menyebabkan timbulnya perilaku kasar tehadap anak, entah terhadap teman-temannya atau orang-orang disekitarnya.

Gangguan Mental

Anak-anak yang mengalami broken home cenderung mengalami depresi dan gangguan kecemasan. Banyak Anak-anak yang memilih mainan apa yang harus dia beli untuk bermain bersama kedua orang tuanya, sedangkan anak-anak broken home harus memilih tinggal bersama siapa diantara kedua orang tuanya. Hal ini membuat mereka kurang mendapatkan kasih sayang, baik dari sang ibu ataupun sang ayah. Banyak kasus bunuh diri di Indonesia yang terjadi dikarenakan gangguan mental, termasuk pada remaja. Gangguan mental yang paling sering terjadi pada anak yang mengalami broken home adalah depresi. Menurut kemenkes WHO, depresi berada pada urutan nomor ke-4 penyakit di dunia, dan diprediksi akan menjadi masalah gangguan kesehatan utama. Bunuh diri menjadi isu kesehatan masyarakat serius saat ini. Menurut WHO tahun 2019, sekitar 800.000 orang meninggal akibat bunuh diri per tahun diseluruh dunia. Angka bunuh diri lebih tinggi pada usia muda.

Masalah Keuangan dan Pendidikan

Dalam gangguan perilaku di atas, sudah disebutkan bahwa anak juga akan mengalami masalah akademis. Selain karena masalah emosional, anak yang mengalami broken home juga akan mengalami masalah ekonomi, terlebih lagi jika kedua orang tuanya sudah memiliki keluarga baru yang akan berfokus pada ekonomi keluarganya masing-masing. Oleh karena itu, anak broken home akan mengalami masalah keuangan yang kurang stabil, baik dari segi pendidikan maupun kebutuhan dalam sehari-hari. Selain itu, prestasi di sekolah juga memiliki kemungkinan menurun. Hal ini terjadi karena mereka rentan mengalami gangguan belajar, sulit konsentrasi, dan tidak termotivasi lagi untuk belajar setelah orang tuanya bercerai.

Demikianlah sebab dan akibat yang akan dialami oleh anak ketika orang tua bercerai. Sebagai orang tua, alangkah baiknya memperhatikan perkembangan anak apapun situasi nya, sebab anak tidak dapat memilih dari keluarga mana ia dilahirkan. Orang tua juga dapat melakukan pencegahan perceraian sesegera mungkin, seperti memperkuat komunikasi antarkeluarga, karena komunikasi adalah kunci keluarga yang sehat.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image