REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah bank perkreditan rakyat (BPR) pada tahun ini mengalami kebangkrutan. Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Yusuf Rendy Manilet menilai masa pemulihan ekonomi membuat BPR harus menghadapi kesulitan dalam merancang strategi bisnis di tengah pengetatan yang ada.
Yusuf menjelaskan, BPR sebagai entitas bisnis selain harus menawarkan bunga yang tinggi, juga harus memastikan dana yang didapatkan BPR tersebut disalurkan kepada entitas bisnis. Lalu, mendapatkan imbal hasil yang relatif lebih tinggi.
"Di sinilah kemudian kejelian dari BPR untuk melihat pasar yang kemudian bisa dimanfaatkan atau digunakan dalam penyaluran dana mereka," kata Yusuf kepada Republika.co.id, Selasa (21/11/2023).
Terlebih, Yusuf menuturkan, saat ini juga terjadi pasar yang relatif ketat. Belum lagi, jika melihat faktor makroekonomi yang saat ini masih dalam proses pemulihan memberikan tantangan tersendiri bagi BPR.
"Katakanlah seperti proses pemulihan ekonomi, menjadi tidak mudah bagi BPR dalam merancang strategi bisnis penyaluran dana kredit ke masyarakat secara umum," jelas Yusuf.
Saat BPR tidak bisa mencapai hal tersebut, Yusuf menilai pada akhirnya BPR harus melakukan penyesuaian bisnis. Lalu pada titik tertentu menjadikan beberapa BPR tidak bisa bersaing dan akhirnya dikategorisasikan sebagai bank yang bangkrut.
"Sebenarnya sekali lagi bahwa BPR memang punya potensi dalam memanfaatkan market UMKM, namun jangan dilupakan juga bahwa BPR juga bersaing dengan bank dengan segmentasi ataupun kelas yang relatif lebih tinggi dibandingkan mereka sehingga sekali lagi meskipun potensi pasarnya besar namun persaingannya relatif ketat dan dalam era suku bunga yang tinggi ini menjadi tidak terlalu menguntungkan bagi BPR itu sendiri," ungkap Yusuf.
Terlebih, Yusuf mengatakan struktur perbankan di Indonesia bersifat oligopolis. Hal itu berarti, dana yang dikumpulkan dari masyarakat umumnya dipegang oleh beberapa bank sehingga bank-bank lain yang tidak bisa mendapatkan dana dari masyarakat harus berebut dana yang tersedia.
"Itu dilakukan dengan cara misalnya menawarkan bunga yang relatif lebih tinggi untuk menarik minat masyarakat agar menempatkan dana mereka di bank tersebut," ujar Yusuf.
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencabut izin usaha PT Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Indotama UKM Sulawesi sejak 15 November 2023. Setelah putusan tersebut dikeluarkan, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) melakukan proses pembayaran klaim penjaminan simpanan nasabah dan pelaksanaan likuidasi BPR Indotama UKM Sulawesi yang beralamat di Jalan AP Pettarani, Ruko Bisnis Center Blok B Nomor 17, Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan.
"Dalam rangka pembayaran klaim penjaminan simpanan nasabah BPR Indotama UKM Sulawesi, LPS akan memastikan simpanan nasabah dapat dibayar sesuai dengan ketentuan yang berlaku," kata Sekretaris Lembaga LPS, Dimas Yuliharto dalam pernyataan tertulisnya, Jumat (17/11/2023).
Dimas memastikan, LPS akan melakukan rekonsiliasi dan verifikasi atas data simpanan dan informasi lainnya. Hal tersebut dilakukan untuk menetapkan simpanan yang akan dibayar. rekonsiliasi, dan verifikasi dimaksud akan diselesaikan LPS paling lama 90 hari kerja sejak tanggal pencabutan izin usaha yaitu paling lambat pada 15 Februari 2024.
"Pembayaran dana nasabah akan dilakukan secara bertahap selama kurun waktu tersebut," ucap Dimas.