Rabu 22 Nov 2023 10:05 WIB

Naik 7,27 Persen, Buruh DIY Tolak UMP 2024

Kenaikan upah buruh tak signifikan dinilai tak menjawab problem klasik DIY.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Fernan Rahadi
Sejumlah buruh menggelar aksi peringatan Hari Buruh Internasional di Tugu Yogyakarta, Senin (1/5/2022).
Foto: Republika/Febrianto Adi Saputro
Sejumlah buruh menggelar aksi peringatan Hari Buruh Internasional di Tugu Yogyakarta, Senin (1/5/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pemerintah Provinsi DIY mengumumkan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2024 naik sekitar 7,27 persen (Rp 144.115,22) dari 1.981.782,39 menjadi Rp 2.125.897,61. Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) DIY tegas menolak penetapan UMP 2024 tersebut.

"Menyatakan prihatin atas masih berlangsungnya upah murah di provinsi Istimewa," kata Koordinator MPBI DIY, Irsad Ade Irawan, Rabu (22/11/2023).

Baca Juga

MPBI DIY mendesak Gubernur DIY untuk merivisi UMP DIY di angka Rp 3,7 Juta dan Rp 4 Juta. Irsad menilai kenaikan upah buruh yang tak signifikan tidak akan mampu menjawab problem klasik DIY, yaitu kemiskinan dan ketimpangan.

Ia mengatakan kenaikan UMP tersebut tidak selaras dan kontradiktif dengan pernyataan Menko Perekonomian, Airlangga Hartanto, yang mengatakan untuk menjadi negara maju, upah buruh harus di angka Rp 10 Juta. "Dengan UMP yang masih saja di bawah 2,5 juta, maka indonesia dan Yogyakarta berpredikat 'maju' hanyalah bagaikan mimpi di siang bolong," ucapnya.

Irsad menjelaskan, dengan upah minimum provinsi 2024 yang di bawah Kebutuhan Hidup Layak (KHL), maka masalah ketidakmampuan masyarakat mengakses makanan bergizi berpotensi kembali berulang. Selain itu dengan kenaikan UMP  yang tak siginifikan tersebut, buruh di Yogyakarta tetap dalam ancaman tuna wisma atau tidak dapat membeli rumah. 

"Harga kredit rumah terlalu mahal untuk bisa dicicil dengan UMP DIY," ungkapnya.

Buruh juga menganggap kenaikan UMP tahun ini tidak bermakna postif bagi pertumbuhan ekonomi. Sebab, dengan upah yang murah, buruh DIY tidak mempunyai daya beli yang tinggi. Buruh juga tidak akan membayar pajak lebih tinggi atas konsumsi atau pengeluaran mereka

"Dengan tidak ada kenaikan UMP yang istimewa, maka tidak ada kejutan dan hadiah bagi buruh menjelang pemilu. Sehingga istilah pemilu adalah pesta  demokrasi menjadi tidak relevan. Karena produk kebijakan pengupahan hasil pemilu tetap beorientasi upah murah," tegasnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement