REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi mendakwa mantan kepala Kantor Bea dan Cukai Makassar, Sulawesi Selatan, Andhi Pramono menerima gratifikasi dengan total sejumlah Rp 58,9 miliar. Jaksa merinci jumlah tersebut terdiri atas Rp 50.286.275.189,79; 264,500 dolar Amerika Serikat atau setara dengan Rp 3.800.871.000,00; dan 4009 ribu dolar Singapura atau setara dengan Rp 4.886.970.000,00.
“Bahwa terdakwa Andhi Pramono telah melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, menerima gratifikasi berupa uang,” kata salah satu JPU KPK Joko Hermawan dalam sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (22/11/2023).
Jaksa menyebut uang tersebut diterima Andhi pada kurun waktu 2012–2023 saat ia menjabat sejumlah posisi strategis. Jaksa merinci Andhi pernah menjabat sebagai Pj Kepala Seksi Penindakan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Riau dan Sumatra Barat (2009–2012).
Kemudian, Kepala Seksi Pelayanan Kepabeanan dan Cukai V Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Tipe Madya Pabean (TMP) B Palembang (2012–2016). Berikutnya, Kepala KPPBC TMP B Teluk Bayur (2016–2017), Kepala Bidang Kepabeanan dan Cukai pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jakarta (2017–2021), dan Kepala KPPBC TMP B Makassar (2021–2023).
“Bahwa penerimaan gratifikasi tersebut ada yang diterima terdakwa secara langsung dan ada pula yang melalui rekening bank, baik rekening bank milik terdakwa maupun rekening bank atas nama orang lain yang dikuasai oleh terdakwa,” tegas jaksa.
Uang haram itu diterima Andhi dari sejumlah pengusaha atau perusahaan, mulai dari perusahaan pengurusan jasa kepabeanan (PPJK), perusahaan yang bergerak di bidang ekspor-impor hingga perusahaan yang bergerak di bidang trading (jual beli), freight forwarder (penerus muatan), trucking (perusahaan truk), warehousing (pergudangan), dan intersulair.
Andhi, kata jaksa, tidak pernah melaporkan uang gratifikasi yang ia terima kepada KPK dalam waktu 30 hari kerja sejak penerimaan gratifikasi tersebut, padahal penerimaan itu tanpa alas hak yang sah menurut hukum. Oleh sebab itu, jaksa menilai perbuatan Andhi harus dianggap suap.
“Haruslah dianggap suap karena berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, yakni berhubungan dengan jabatan terdakwa sebagai Pegawai Negeri pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai,” ujar jaksa.
Atas perbuatannya, Andhi Pramono didakwa melanggar Pasal 12B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.