Kamis 23 Nov 2023 13:09 WIB

Hamas Berhasil Memecah Belah Politisi Israel

Hamas akan melepaskan 50 sandera dengan imbalan pembebasan 150 tahanan Palestina.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nidia Zuraya
Pejuang Hamas melancarkan operasi badai Al Aqsa.
Foto: AP
Pejuang Hamas melancarkan operasi badai Al Aqsa.

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berhasil mencapai gencatan senjata dengan Hamas dengan dukungan dari mitra koalisi sayap kanan. Dukungan dari pihak tersebut sangat penting karena membuatnya tetap bisa berkuasa, meski beberapa anggota kabinet menyatakan ketidaksenangan atas hasil tersebut.

Kesepakatan antara Israel dan Hamas dicapai pada Rabu (21/11/2023). Hasil mediasi dari Qatar ini mencangkup gencatan senjata beberapa hari dan pembebasan 50 sandera yang ditahan di Gaza dengan imbalan 150 warga Palestina yang dipenjara oleh Israel.

Baca Juga

Netanyahu telah menjelaskan bahwa perjanjian tersebut tidak berarti perang akan berhenti. Dia berjanji bahwa militer Israel akan terus melanjutkan perang setelah jeda pertempuran.

Sementara kabinet pemerintahan Israel menyetujui gencatan senjata tersebut, anggota garis keras seperti Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir menegaskan kembali penolakannya. “Hamas menginginkan jeda ini lebih dari apa pun,” ujarnya menulis di X.

Ben-Gvir mengatakan, jeda tersebut akan memberikan waktu bagi kelompok tersebut untuk mengisi kembali pasokan dan memformulasi ulang kelompoknya. Dia juga menyatakan, Israel mengulangi kesalahan masa lalu, merujuk pada kesepakatan 2011 ketika lebih dari 1.000 tahanan Palestina dibebaskan dengan imbalan pembebasan tentara Israel Gilad Shalit, yang telah ditahan oleh Hamas selama lima tahun.

Setelah salah satu anggota kabinet mengatakan pentingnya menyampaikan pesan persatuan, media Israel Ynet melaporkan, bahwa Ben-Gvir menilai Israel tidak bersatu. "Keputusan ini akan menyebabkan kerugian besar bagi kita selama beberapa generasi," ujar menteri itu.

Keragun Ben-Gvir dan anggota parlemen dijawab oleh anggota militer dan intelijen Israel. Mereka berusaha menghilangkan kekhawatiran bahwa jeda dalam pertempuran dapat menghambat momentum Israel setelah lebih dari sebulan serangan tanpa henti di Gaza.

Presiden Israel Isaac Herzog mengakui bahwa keberatan tersebut dapat dimengerti, menyakitkan, dan sulit. Namun dia mengingat keadaan yang ada dan mendukung pemerintah untuk melanjutkan kesepakatan tersebut.

“Ini adalah kewajiban moral dan etika yang secara tepat mengungkapkan nilai-nilai Yahudi dan Israel dalam menjamin kebebasan mereka yang disandera, dengan harapan bahwa ini akan menjadi langkah pertama dalam memulangkan semua sandera,” kata Herzog.

Hamas melancarkan serangan ke Israel selatan pada 7 Oktober, yang menurut pihak berwenang Israel menewaskan 1.200 orang dan sekitar 240 orang diculik ke Gaza. Serangan ini telah mengguncang masyarakat Israel dan memecah belah pendapat mengenai jalan yang benar ke depan.

Perwakilan dari partai Religious Zionist yang dipimpin oleh Menteri Keuangan sayap kanan Bezalel Smotrich memberikan suara mendukung gencatan senjata setelah menyatakan skeptisisme. Dalam sebuah postingan di media sosial, Menteri Pemukiman dan Misi Nasional Orit Strock mengatakan, dia telah menyetujui proposal tersebut walaupun tidak berencana untuk melakukannya.

"Meninjau secara mendetail, [dan] pertanyaan dijawab secara menyeluruh," ujar Smotrich memberikan alasan perubahan keputusan itu.

Israel telah berjanji untuk melenyapkan Hamas, hanya saja menghadapi pengawasan yang semakin ketat atas tindakan di Gaza. Menurut para kritikus, tindakan militer Israel merupakan hukuman yang tidak pandang bulu terhadap penduduk wilayah kantong yang terkepung tersebut.

Israel telah memutus akses terhadap makanan, bahan bakar, dan listrik bagi lebih dari 2,3 juta penduduk Gaza. Tentara juga memusnahkan seluruh lingkungan dalam serangan, menurut pihak berwenang Palestina, tindakan itu telah membunuh lebih dari 14.000 orang, dan lebih dari 5.600 di antaranya adalah anak-anak.

Ketika kondisi di Gaza mencapai titik puncak, tekanan meningkat untuk menghentikan pertempuran guna memungkinkan bantuan kemanusiaan masuk ke Jalur Gaza. Beberapa warga Israel, termasuk mereka yang kehilangan orang yang dicintai atau terus menunggu kepulangan sandera juga meminta pemerintah untuk memprioritaskan kembalinya para orang yang diculik.

“Orang-orang tidak diculik di luar negeri. Mereka diculik di sini, di Israel, dari tempat tidur mereka. Kegagalan besar terjadi di sini. Oleh karena itu, kita harus membawa mereka kembali,” kata Menteri Kerja Sama Regional David Amsalem yang merupakan anggota Partai Likud pimpinan Netanyahu.

Pengadilan tinggi Israel menolak petisi Asosiasi Korban Teror Almagor pada Rabu. Penolakan itu menilai kesepakatan yang ada akan menimbulkan ancaman terhadap keamanan negara.

Petisi tersebut berpendapat bahwa melepaskan beberapa tawanan, namun tidak semua, melanggar hak atas kesetaraan. Mereka menyerukan penundaan implementasi perjanjian tersebut sampai pemerintah dapat membuktikan bahwa gencatan senjata tidak membahayakan nyawa warga Israel.

Periode 24 jam dengan masyarakat Israel dapat mengajukan keberatan hukum terhadap kesepakatan yang disetujui pemerintah telah dimulai pada Selasa (19/11/2023) malam.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement