REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Rasa duka pasti menyelimuti siapapun ketika ada sanak familinya yang meninggal dunia. Terlebih bila yang meninggal itu adalah suami sendiri. Tentu membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk bisa menstabilkan emosi dan menyesuaikan keadaan setelah ditinggal pergi suami.
Dalam keadaan berkabung seperti itu terdapat aturan dalam syariat Islam bagi seorang istri yang ditinggal wafat suaminya.
Islam melarang istri yang ditinggal wafat suaminya keluar rumah, dan tidak berdandan atau berhias, serta tidak menerima lamaran dari orang lain, hingga batas waktu empat bulan sepuluh hari. Kondisi ini dinamakan dengan ihdad.
Namun demikian para ulama membolehkan untuk keluar rumah bila ada keadaan darurat, seperti mengambil atau membeli makanan yang tidak bisa dilakukan bila tidak keluar rumah dan lain sebagainya. Yang terpenting tidak berlebihan dan tidak merias diri.
Akan tetapi selain dari pada istri, semisal saudara atau teman maka masa berkabungnya cukup dalam kurun waktu tiga hari saja.
وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَايَحِلُّ لِا امْرَأَةٍ مُؤْ مِنَةٍ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْاَجِرِأَنْ تُحِدَّعَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثٍ اِلَّا عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍوَعَشْرًا
Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidak halal bagi seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir berihdad (berkabung) atas orang yang mati lebih dari tiga hari. Kecuali berkabung atas suami selama empat bulan sepuluh hari.” (Kasyf al-Ghummah, hlm 89, jilid 1)
Meski demikian para ulama berpendapat bolehnya bertakziyah meski telah tiga hari masa berkabung dihitung dari sejak meninggalnya seseorang.
Abu al-‘Abbas ibn al-Qash menyatakan, tidak masalah bertakziah setelah lebih dari tiga hari. Bahkan, waktunya terus berlanjut hingga kapan pun. Pendapat ini didukung oleh pendapat Imam Al-Haramain yang juga pendukung Mazhab Asy-Syafi’i.
Sementara Imam an-Nawawi berpendapat bahwa boleh bertakziyah pada waktu lebih dari tiga hari dengan melihat kondisinya. Sebagaimana keterangan beliau dalam kitab al-Adzkar an-Nawawiyyah.
والمختار أنها لا تفعل بعد ثلاثة أيام إلا في صورتين استثناهما أصحابنا أو جماعة منهم، وهما إذا كان المعزِّي أو صاحب المصيبة غائباً حال الدفن، واتفق رجوعه بعد الثلاثة، قال أصحابنا: التعزية بعد الدفن أفضل منها قبله، لأن أهل الميت مشغولون بتجهيزه، ولأن وحشتهم بعد دفنه لفراقه أكثر، هذا إذا لم يرَ منهم جزعاً شديداً، فإن رآه قدّم التعزية ليسكِّنهم
Artinya: “Pendapat yang dipilih adalah takziah tidak dilakukan setelah tiga hari (penguburan) kecuali dalam dua keadaan yang dikecualikan oleh kawan-kawan kami atau sekelompok dari mereka. Dua keadaan dimaksud adalah jika orang yang ditakziahi atau orang yang terkena musibah sedang tidak ada ketika penguburan, dan disepakati kebolehan atau permintaan takziyah lagi.
Baca juga: Syekh Isa, Relawan Daarul Quran di Gaza Syahid Sekeluarga dan Kisah Putri Dambaannya
Bahkan, menurut sebagian kawan kami, takziyah setelah penguburan lebih baik dari pada sebelumnya. Karena mungkin saat penguburan, keluarga si mayit tengah sibuk mengurus mayit.
Atau, duka mereka setelah penguburan karena kepergian si mayit lebih terasa berat. Ini dilakukan jika orang yang takziah tidak melihat kesedihan yang sangat mendalam. Artinya, jika ia melihat mereka sangat berduka, maka takziah lebih didahulukan demi menenangkan mereka.”