REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tentara Israel telah menangkap Direktur Rumah Sakit al-Shifa, Muhammad Abu Salmiya bersama beberapa dokter senior lainnya. Kabar tentang penangkapan ini disampaikan Khalid Abu Samra, kepala departemen di rumah sakit tersebut pada Kamis (23/11/2023).
“Dokter Mohammad Abu Salmiya ditangkap bersama beberapa dokter senior lainnya,” ujar Khalid Abu Samra yang menjabat sebagai salah satu kepala departemen di RS Al-Shifa, dikutip laman Al Arabiya.
Belum ada informasi mengenai ke mana Israel membawa Abu Salmiya dan sejumlah dokter RS Al-Shifa lainnya. Israel pun belum merilis keterangan resmi tentang alasan penangkapan para dokter tersebut.
Rumah Sakit Al-Shifa telah menjadi fokus utama serangan darat Israel di Gaza utara. RS tersebut telah diduduki pasukan Israel sejak 15 November 2023 lalu karena diyakini memiliki fasilitas bawah tanah yang menjadi markas komando Hamas.
Pekan lalu, tentara Israel, yang menggerebek rumah sakit tersebut dan menuduh pejuang Hamas menggunakan kompleks terowongan di bawah fasilitas medis itu untuk melancarkan serangan. Hamas dan pejabat rumah sakit telah berulang kali membantah klaim tersebut.
Pada Rabu (22/11/2023) kantor kemanusiaan PBB mengatakan, tentara Israel menghalangi konvoi ambulans yang mengangkut 190 pasien yang terluka dan sakit dari Rumah Sakit al-Shifa ke selatan, sehingga perjalanan memakan waktu hampir 20 jam. Penundaan yang lama di pos pemeriksaan militer Israel yang memisahkan Gaza utara dan selatan menempatkan nyawa orang-orang yang terluka dan sakit dalam bahaya.
Layanan medis sebelumnya mengatakan, 14 ambulans, dua bus PBB dan kendaraan lainnya terlibat dalam evakuasi pasien, serta “sejumlah tim medis” dari Rumah Sakit al-Shifa. Masyarakat Bulan Sabit Merah Palestina (PRCS), mengatakan tiga paramedis dan seorang pendamping salah satu pasien yang terluka ditahan selama lebih dari tiga jam dalam cuaca dingin, sementara pasien dipindahkan ke rumah sakit di wilayah selatan.
Israel dan Hamas menyetujui gencatan senjata empat hari yang dimulai pada Kamis (23/11/2023). Gencatan senjata ini menandai terobosan diplomatik besar pertama sejak pertempuran dimulai lebih dari enam pekan lalu.
Berdasarkan kesepakatan yang ditengahi Qatar, pejuang Palestina akan membebaskan 50 perempuan dan anak-anak yang diculik dalam serangan lintas batas pada 7 Oktober. Serangan Hamas yang mengejutkan tersebut dianggap dengan serangan udara dan darat yang dilakukan Israel di Gaza. Serangan Israel telah menyebabkan 14.100 warga Palestina terbunuh, sebagian besar wanita dan anak-anak.
Gencatan senjata ini menawarkan kepada warga Gaza prospek jeda yang sangat diinginkan, meskipun singkat. Sumber dari Hamas dan Jihad Islam sebelumnya mengatakan, gencatan senjata akan mencakup gencatan senjata total di lapangan dan penghentian operasi udara Israel di Gaza selatan.
Beberapa poin dalam kesepakatan gencatan senjata adalah menghentikan semua lalu lintas udara Israel di utara Gaza selama enam jam sehari, dari pukul 10.00 hingga 16.00. Selama periode gencatan senjata, Israel harus berkomitmen tidak menyerang atau menangkap warga Palestina di Jalur Gaza. Israel juga harus menjamin kebebasan bergerak warga Palestina dari utara ke selatan Gaza, di sepanjang Jalan Salah El-Din.