Sabtu 25 Nov 2023 01:07 WIB

Pengenaan Cukai Plastik Dinilai Berdampak Negatif pada Utilisasi Industri

Kemenperin menyebut penarikan cukai berdampak pada industri kecil menengah

Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Diskusi publik bertajuk Solusi Pengurangan Sampah Plastik di Indonesia, Cukai Plastik atau Pengelolaan Sampah yang Optimal? yang diselenggarakan Forum Jurnalis Online (FJO) di Jakarta, Selasa (21/11/2023).
Foto: dok istimewa
Diskusi publik bertajuk Solusi Pengurangan Sampah Plastik di Indonesia, Cukai Plastik atau Pengelolaan Sampah yang Optimal? yang diselenggarakan Forum Jurnalis Online (FJO) di Jakarta, Selasa (21/11/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penarikan cukai plastik hanya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi dan hanya menjadi beban bagi kalangan industri yang tengah bertumbuh saat ini. Karenanya, pemerintah perlu berhati-hati dalam pengenaan cukai plastik ini.

Hal itu menjadi benang merah acara diskusi publik bertajuk “Solusi Pengurangan Sampah Plastik di Indonesia, Cukai Plastik atau Pengelolaan Sampah yang Optimal?” yang diselenggarakan Forum Jurnalis Online (FJO) di Jakarta, Selasa (21/11).

Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA) Kementerian Perindustrian, Ir. Reni Yanita M.SI mengatakan penarikan cukai plastik hanya akan berdampak negatif kepada pertumbuhan ataupun utilisasi industri dalam negeri yang sudah mulai bertumbuh saat ini, termasuk di dalamnya industri kecil menengah yang mencapai 99,7 persen dan industri makanan minuman yang jumlahnya hampir mencapai 1,68 juta unit usaha. 

Dia mengkhawatirkan, penarikan cukai plastik nantinya justru akan mengganggu sisi permintaannya yang pasti akan berkurang. “Ketika demand berkurang pasti kebutuhan yang ada akan diisi oleh produk impor yang cenderung lebih murah. Ini juga yang harus kita sikapi. Karena demand tetap ada tetapi konsumen pasti cenderung memilih harga yang lebih murah. Harga murah karena tidak ada pengenaan cukai di kemasan plastiknya,” ujarnya.

Dalam kaitannya dengan plastik, Kementerian Perindustrian melihatnya dari sisi lingkungan hidupnya. ”Kalau kita menganggap kemasan plastik, sebagai limbah, itu salah. Karena itu masih bisa diolah lagi bahkan bisa menjadi bahan baku,” tuturnya. 

Jika terhadap kemasan-kemasan plastik itu dikenakan cukai, menurut Reni, pasti ada koreksi di harga yang akan ditanggung oleh konsumen. Kemudian jika ada koreksi harga, lanjutnya, pasti permintaan akan terkoreksi juga. “Takutnya kita dengan kondisi seperti ini industri dalam negeri yang sudah tumbuh bisa terhambat,” tukasnya.

Dampaknya, kata Reni, bersiap-siap utilisasi industri nasional akan terkoreksi menjadi lebih rendah. Kemudian daya saingnya juga menjadi lebih rendah karena utilisasi menurun. “Ini akan diisi oleh pangsa impor. Impor juga bukan hanya di produk hilir yang kita hasilkan seperti produk makanan dan minuman dalam kemasan, ini akan diisi oleh produk impor dan juga untuk bahan bakunya,” ucapnya.

Dia menegaskan bahwa kemasan plastik itu bukan limbah karena bisa diolah lagi menjadi bahan baku untuk industri lainnya, termasuk di sini untuk industri berbasis sandang, karpet, kemudian ada juga industri alas kaki. “Dengan pengenaan cukai ini, industri daur ulang plastik kita akan kekurangan bahan baku karena memang di industri dalam negerinya juga terkoreksi,” ungkapnya.

Dia menegaskan yang namanya penerimaan negara, dalam hal ini cukai seharusnya dioptimalkan penggunaannya untuk kemakmuran dan juga untuk pertumbuhan industri yang saat ini masih menjadi kontributor utama dalam pertumbuhan ekonomi. 

“Jadi, perlu dipertimbangkan, perlu dipikirkan dampak dari cukai. Kemudian penerimaan negara dari cukai ini akan dikelola dengan baik untuk kemakmuran juga. Yang namanya pengenaan cukai bukan strategi yang utama atau yang prioritas menurut kami. Karena yang kendala bagi kita adalah pengelolaan sampahnya, walaupun di beberapa perkantoran ataupun masyarakat kita sudah mengenal ada pemisahan sampah, tetapi begitu di tempat pembuangan akhir siapa yang mengawal. Apakah kita sudah menyiapkan untuk yang bahan organik dikelola seperti apa, kemudian yang anorganik seperti apa,” katanya.

Pada acara yang sama, Direktur Pengelolaan Sampah, Ditjen PSLB3, Kementerian LHK, Dr. Novrizal Tahar, menjelaskan ada yang belum beres dalam hal persoalan sampah terkait waste management. “Memang belum beres. Jadi, kalau di data kita, pengolahan sampah mungkin baru 60 persen yang kita anggap (terkelola) secara  baik dan benar. Dan masih ada mungkin sekitar 40 persen itu memang masih terbuang ke lingkungan dan menjadi persoalan,” ungkapnya.

Anggota Komite Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Ir. Rachmat Hidayat, M. Sc, juga menyampaikan pengendalian sampah plastik itu seharusnya dilakukan secara menyeluruh dengan mempertimbangkan cost dan benefit. Menurutnya, penarikan cukai plastik ini akan memicu terjadinya kenaikan harga yang otomatis akan menyebabkan permintaan turun. 

Permintaan turun, lanjutnya, pendapatan dan sebagainya juga turun. “Kami sepakat yang disampaikan Ibu Dirjen (Reni) dan Bapak Direktur bahwa cukai itu salah satu pilihan pilihan, tapi untuk saat ini adalah bukan pilihan pertama. Ada pilihan lain yang lebih baik kita ambil yang ongkosnya tidak sebesar itu, misalnya pengelolaan sampah yang lebih baik,” katanya.

Menurut Rachmat, dari riset Indef 2015 dijelaskan bahwa setiap 1,76 persen penurunan industri makanan-minuman akan berkontribusi terhadap hilangnya pendapatan secara nasional sebesar Rp 6,79 triliun dan ini berkorelasi dengan hilangnya lapangan pekerjaan sebanyak 280.000 orang. 

Selain itu pendapatan pemerintah berupa pajak pasti turun, baik pajak penghasilan maupun pajak penjualan atau pajak pertambahan nilai, tambahnya. Itu baru satu contoh dari satu sektor industri makanan dan minuman saja. Artinya, harapan kita kondisi persampahan lebih baik melalui cukai, yang terjadi malah ongkosnya yang harus kita tanggung sangat besar. 

Sementara, penanggap lainnya yaitu Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Ahmad Heri Firdaus, mengatakan berdasarkan kajian yang dilakukan Indef, penarikan cukai plastik ini akan menurunkan pertumbuhan ekonomi misalnya dari yang harusnya tumbuh 6 persen, tetapi karena ada kebijakan ini tidak jadi 6 persen tapi hanya 5,9 persen. “Artinya, ada potensi pertumbuhan yang terbuang,” tuturnya. 

Menurut perhitungan Indef, kalau mengenakan cukai pada kemasan plastik dampak itu tidak hanya di industri kemasan plastik atau sejenisnya saja, tapi juga industri terkait yang menggunakan dan justru itu nilainya lebih besar. Sebagai contoh pengguna kemasan plastik FMCG, mereka juga akan terdampak secara ekonomi karena produk makanan dan kebutuhan sehari-hari salah satu input produksinya adalah kemasan plastik. 

“Nah, ketika terjadi kenaikan harga input, sebagai pengusaha atau produsen, apabila harga input mengalami kenaikan meskipun nanti akan dibebankan kepada konsumen, tetapi estimasinya konsumen ini akan merespon dengan menyesuaikan konsumsinya yang pada akhirnya  akan direspon juga oleh industri di hulunya,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement