Inilah Ksatria Tangguh Sang Penakluk Yerusalem
Sang Penakluk dan Pembebas Kota Yerusalem itu bernama Shalahuddin Al Ayyubi
Sahabat Rumah Berkah yang dirahmati Allah SWT.
Kota Yerusalem di Palestina, sudah berabad-abad lamanya terus diperebutkan. Mulai dari Islam, Yahudi, Kristen (Nasrani) dan kelompok-kelompok lainnya. Semuanya berupaya merebut kota yang diyakini sebagai kota para nabi tersebut. Dan ujung-ujungnya selalu timbul peperangan.
Sebagaimana dimaklumi bersama, hampir tak ada peperangan yang berlangsung demikian lama, selain Perang Salib. Ratusan tahun dibutuhkan untuk mengakhiri perang yang sangat ganas ini. Seorang penulis Barat bahkan menyebutnya sebagai badai kefanatikan liar Kristen Eropa dalam menumpahkan dendamnya kepada orang-orang Asia Barat.
“Perang Salib merupakan salah satu episode yang paling gila dalam sejarah. Kaum Kristen menghasut diri mereka sendiri ke dalam peperangan melawan pengikut Nabi Muhammad dari satu ekspedisi ke ekspedisi lain selama tiga abad. Eropa dibanjiri manusia pendendam dan uang. Mereka merasa terancam oleh kebangkrutan sosial jika bukan kelaparan atau penyakit. Setiap kekejaman yang hanya ada dalam khayalan itu pun terjadi dan itu mencemarkan prajurit-prajurit Salib,” kenang Michaud, seorang sejarawan asal Prancis, sebagaimana ditulis oleh Muarif, dalam buku yang berjudul Dari Penakluk Yerusalem Hingga Angka Nol yang diterbitkan oleh Republika Penerbit (2002).
Kaum Kristen Barat dirangsang ke arah kegilaan agama oleh Peter Sang Pertapa untuk menghancurkan Islam dan membebaskan Tanah Suci Yerusalem. Hallam, sejarawan lainnya pun lebih lanjut menulis: “Segala cara dan alat digunakan untuk merangsang tumbuhnya kegilaan yang mewabah. Pada masa itu, kalau ada tentara salib yang memikul tiang Salib, maka ia berada dalam perlindungan gereja dan dibebaskan dari semua pajak serta sekaligus mendapat kebebasan untuk melakukan dosa.”
Baca Juga: Sosok Raja Israel yang Pertama
Peter Sang Pertapa, otak dari semua kegilaan itu, memimpin sendiri pasukan Salib kedua yang terdiri dari 40 ribu pasukan. Sejarawan Prancis Michaud, menuliskan bagian ini dengan paparan yang demikian mengenaskan: “Sesampainya di Mallevie, mereka membalaskan dendam atas kematian para pendahulu mereka dengan menganiaya dan membunuh tidak kurang dari 7000 warga kota itu kemudian mereka menghibur diri mereka dengan segala bentuk kekasaran. Gerombolan-gerombolan liar yang disebut pejuang Salib itu mengubah Hungaria dan Bulgaria menjadi daerah terpencil. Ketika mereka sampai di Asia Kecil, mereka melakukan kejahatan yang membuat alam bergetar karena menjijikkan.”
Gelombang ketiga serangan tentara Salib, tak berbeda dengan gelombang kedua. Sejarawan Edward Gibbon menyebut perilaku tentara yang dipimpin seorang biarawan Jerman sebagai manusia sampah yang paling liar dan bodoh. Mereka (tentara Kristen Eropa itu) mencampuradukkan ketaatan dengan perampokan yang brutal, pemerkosaan dan mabuk-mabukan.
Sementara itu, gelombang keempat pasukan Salib muncul dari Eropa Barat. Menurut sejarawan John Stuart Mills, pasukan tersebut merupakan kawanan lain dari manusia biadab yang liar dan nekat. Mereka punya kebiasaan yang sama, menganiaya, memperkosa dan merampas tanpa ampun.
Bila gelombang-gelombang tentara Salib sebelumnya sulit mendapatkan kemenangan apalagi menduduki Tanah Suci Yerusalem, gelombang selanjutnya barulah mendapat keberhasilan. Sukses awal mereka dimulai ketika menaklukkan bagian terbesar dari Suriah dan Palestina, termasuk kota suci Yerusalem.
Tapi, kemenangan itu disusul dengan tindakan brutal dan pembantaian orang-orang Islam yang tidak bersalah, termasuk orang tua, anak-anak dan wanita. Jumlah umat Islam yang terbantai, jauh melebihi pembantaian yang pernah dilakukan Jengish Khan atau Hulagu Khan, kaisar Mongol, ketika menjarah dan membantai umat Islam.
Sejarawan Mills, kendati beragama Kristen, membuktikan pembantaian itu dilakukan saat pasukan Salib menguasai Kota Antioch, Suriah. Tentara Salib menduduki kota-kota Suriah yang maju dan berkembang baik. Mereka membantai penduduknya dengan darah dingin dan membakar hingga jadi abu semua benda seni dan benda peraga pengetahuan yang tak ternilai harganya. Termasuk obyek dalam aksi penghancuran itu adalah perpustakaan Tripoli yang terkenal dan memiliki koleksi 3 juta jilid buku-buku ilmu pengetahuan. “Jalan-jalan digenangi darah sampai keganasan itu lelah atau capek dengan sendirinya,” tulis Mills.
Baca Juga: Sejarah Panjang Palestina yang Dicaplok Israel
Semua kegilaan itu mencapai puncaknya saat tentara Salib mendapat dukungan dari Raja-raja Jerman dan Prancis serta Raja Inggris Richard ‘The Lion Heart’ pada abad ke-12 M.
Saat kegilaan itu memuncak, Allah mengutuskan seorang pembebas dari Suriah. Sang pembebas itu adalah Shalahuddin al-Ayyubi yang lahir pada 1137 M. Ayahnya bernama Najmuddin Ayyub dan pamannya Asaduddin Sherkoh, mendidik Shalahuddin menjadi ksatria tangguh.
Apalagi, Sherkoh merupakan panglima perang tangguh yang selalu mendapat kepercayaan untuk memimpin pasukan Raja Suriah Nuruddin Mahmud untuk mengusir tentara Salib dari Suriah dan Mesir.
Kepandaian dan kecakapan dalam ilmu pemerintahan membuat Shalahuddin dipercaya menjadi wakil raja di Mesir oleh Raja Nuruddin. Saat itu sang Raja telah berulangkali menjaga kedaulatan kekuasaannya, termasuk melawan tentara Salib yang mencoba menguasai wilayah Yerusalem.
Ketika Nuruddin wafat, putranya Malikus Shaleh yang baru berusia 11 tahun memerintah. Kendati berkuasa, Malikus Shaleh sangat dipengaruhi anggota keluarganya terutama Gumusthagin. Karena pengaruhnya pula, Malikus Shaleh meninggalkan Damaskus dan mengasingkan diri di Aleppo. Saat itulah, tentara Salib mengepung ibukota dan baru mengendurkan pengepungan setelah mendapat upeti besar.
Kenyataan itu membuat Shalahuddin marah. Ia pun segera berangkat ke Damaskus dengan membawa sejumlah pasukan dan menguasai kota itu. Kendati telah dikuasai, ia tidak memasuki istana raja karena ia masih menghormati almarhum Raja Nuruddin. Di Damaskus, Shalahuddin tinggal di rumah orangtuanya. Beberapa kalangan mendesak Shalahuddin untuk segera mengambil alih kekuasaan dari Malikus Shaleh. Namun, ia menolaknya. Barulah ketika raja muda itu meninggal pada 1181 M, Shalahuddin segera memegang tampuk kekuasaan.
Kala berkuasa, Sultan Shalahuddin melakukan gencatan senjata di Palestina dengan tentara Salib yang dipimpin Raja Franks dari Jerman. Sejarawan Prancis Michaud menulis gencatan senjata itu dihormati pasukan Islam. Namun, tidak demikian dengan tentara Kristen. “Pemimpin Kristen Renauld (Reginald) dari Chatillon menyerang sebuah kafilah Islam yang melewati markas mereka. Juga, mereka membantai para penduduk dan merampas semua harta bedan mereka.”
Jelas, ini melanggar kesepakatan bersama. Shalahuddin pun tak merasa berat melakukan pembalasan atas perlakuan tentara Salib. Dengan sebuah gerakan yang piawai, Shalahuddin menjebak pasukan musuh di dekat Bukit Hittin pada 1187 M. Kemenangan pun diraih dan ia pun tidak memberi kesempatan kepada tentara Salib untuk melakukan konsolidasi sehingga pasukan Shalahuddin segera menguasai sejumlah kota seperti Nablus, Jericho, Ramallah, Caesarea, Asruf, Jaffa, dan Beirut serta Ascalon.
Baca Juga: Bani Israil tak Bisa Masuk Palestina karena Diazab Allah
Setelah semua kota itu bebas, Shalahuddin segera memusatkan perhatian pada kota Yerusalem yang saat itu dikuasai tidak kurang dari 60 ribu pasukan Salib. Serangan gencar yang dilakukan Shalahuddin dan pasukannya membuat pasukan Salib akhirnya menyerah pada akhir tahun 1187 M. Saat penyerahan kekuasaan atas kota suci ini, tampak sekali perbedaan yang dilakukan tentara Islam dengan tentara Salib ketika mereka masuk kota suci ini 90 tahun sebelumnya.
Michaud mencatat kala itu pembantaian terhadap umat Islam di Yerusalem terjadi pada 1099 M. Raymond d’Agilles, bangsawan Prancis yang termasuk salah seorang pemimpin tentara Salib, menyaksikan dengan mata kepala sendiri peristiwa itu dan menuliskan, bahwa di bawah serambi masjid yang melengkung itu, genangan darah mencapai kedalaman selutut dan mencapai tali kekang kuda. Hal ini bisa dibayangkan manakala 70 ribu penduduk muslim binasa dibantai tentara Salib.
Baca Juga: Sosok yang Membangun Masjid Al-Aqsha
Disinilah Lokasi yang Diyakini Menjadi Tempat Nabi Isa Diturunkan di Akhir Zaman
Kini, ketika pasukan Shalahuddin datang dan menguasai Yerusalem. Tak ada balas dendam yang ditakutkan. Shalahuddin mengampuni semua penduduk Kristen Yerusalem. Hanya orang-orang yang pernah bertempur atau pejuang-pejuang Kristen yang diminta meninggalkan kota setelah membayar tebusan. Dalam banyak kasus, ternyata Shalahuddin memberikan uang tebusan dari kantongnya sendiri dan memberi ongkos transportasi.
Sultan Shalahuddin pun sangat tersentuh dengan permohonan sejumlah wanita Kristen. Dengan menggendong anak-anaknya, mereka meminta para suami yang tertawan dibebaskan. Permintaan ini pun dipenuhi sang Sultan dan semua lelaki yang tertawan dibebaskan serta diberi kebebasan membawa semua harta benda yang dimiliki.
Jatuhnya Yerusalem membuat umat Kristen kacau balau. Raja Jerman, Prancis dan Inggris pun segera mengambil langkah bersama untuk bersatu padu mengumpulkan kekuatan guna menuntut balas. Pasukan gabungan ketiga negara tersebut dibentuk untuk melancarkan serangan di bawah komando Raja Richard ‘Berhati Singa.’ Mereka segera mengepung kota Akra selama beberapa bulan. Pasukan Islam yang terdesak akhirnya menyerah dengan syarat tak satu pun penduduk boleh dibunuh dan mereka akan membayar 200 ribu keping emas sebagai jaminannya. Richard setuju. Namun, ketika pembayaran jaminan itu terlambat, tanpa ampun semua penduduk Akra dibantai tanpa sisa.
Kekejaman Raja Inggris ini membangkitkan kemarahan Sultan Shalahuddin Al Ayyubi. Segera ia pun memimpin langsung serangan balasan kepada pasukan gabungan Kristen. Sepanjang garis pantai 150 mil dan dalam 11 kali pertempuran, pasukan Islam memorakporandakan pasukan Kristen. Akhirnya, di bulan September 1192 M, perdamaian pun dicapai dan pasukan Perang Salib meninggalkan medan peperangan dengan kekalahan yang menyakitkan. Michaud mencatat dari 600 ribu pasukan yang dikirim ke Akra, hanya tinggal 100 ribu yang kembali ke Eropa.
Kondisi pun kembali berjalan normal. Namun, tiba-tiba tersebar kabar bahwa setibanya di Inggris Raja Richard sakit keras, maka Sultan Shalahuddin yang juga seorang dokter itu merasa iba. Dengan pakaian yang lazim dipakai oleh orang Eropa dan topeng dari kulit di wajahnya, Sultan menyamar, datang ke tempat tinggal Richard untuk mengobatinya. Ketika pakaian samarannya itu ditanggalkan, Raja Richard pun terkejut bahwa sang tabib itu ternyata adalah orang yang dimusuhinya.
“Shalahuddin, aku adalah orang yang memusuhimu, mengapa engkau tak membunuhku?,” tanya Raja Richard terheran-heran.
“Tidak, agamaku melarang membunuh musuh dalam keadaan lemah atau sakit,” jawab Shalahuddin penuh ksatria.
Sejak mundurnya pasukan Kristen dari Mesir dan Palestina, Sultan Salahuddin lebih banyak membaktikan sisa hidupnya dengan pembangunan sarana dan prasarana guna menyejahterakan rakyatnya. Ia membangun banyak masjid, rumah sakit dan sarana-sarana umum lainnya. Semua itu dilakukan di seluruh wilayah kekuasaannya.
Ketika ajal menjemput pada 4 Maret 1193, Dunia Islam kehilangan tokoh pembebas Yerusalem yang di dalamnya terdapat Masjid al-Aqsha , tanah suci ketiga umat Islam. Kurir yang membawa berita kematian Sultan ke Baghdad hanya membawa ikat kepala dari baja, kudanya, satu dinar dan 36 dirham uang tunai sebagai warisan Sultan. (Syahruddin El-Fikri/Rumah Berkah).
Artikel Menarik Lainnya:
Kisah-Kisah Islami dan Inspiratif
Tempat Bersejarah di Dunia Islam
Ulasan Seputar Buku dan Kitab Klasik
Cerita Abu Nawas dan Humor Lucu
Silakan beri komentar atas berita ini, dan monggo dibagikan bila bermanfaat.
Terima kasih.