Ahad 26 Nov 2023 08:32 WIB

Secarik Nasihat Tabiin: Ar Rabi bin Khutsaim

Waspadai dosa-dosa yang tersembunyi.

Rep: Rudi/ Red: Partner
.
Foto: network /Rudi
.

Ilustrasi, Tabi'in. (harakah)

KALTIMTARA, REPUBLIKA – Suatu ketika Hilal bin Isaf dikunjungi seorang tamu bernama Mundzir ats-Tsauri. Mundzir meminta agar diajak bertemu gurunya Hilal, seorang Tabi’in bernama Ar Rabi’ bin Khutsaim.

Dalam buku Mereka adalah Para Tabi’in, karya Dr. Abdurrahman Ra’at Basya (2009), dikisahkan, keduanya menemui Rabi’ bin Khutsaim. Mundzir mengaku ingin bertemu dengan Rabi’ bin Khutsaim lantaran mau meminta nasihat dari beliau.

Di perjalan, Mundzir bertanya pada Hilal, “Apakah engkau sudah minta izin kepadanya? Kudengar beliau menderita penyakit rematik sehingga tidak keluar rumah dan enggan menerima tamu.

Hilal menjawab, “Begitulah orang-orang Kufah mengenalnya, sakitnya tidak mengubahnya sedikit pun.”

Mundzir berkata, “Baiklah. Tapi gurumu ini memiliki perasaan halus, apakah menurutmu kita layak mendahului bicara dan bertanya sesuka kita? Atau apakah diam saja menanti beliau bicara?”

Hilal mengungkapkan, “Sekiranya engkau duduk bersama Rabi’ bin Khutsaim selama setahun lamanya, maka beliau tak akan bicara apapun, kecuali jika engkau yang mulai berbicara. Beliau akan terus diam jika tidak didahului pertanyaan. Sebab beliau menjadikan ucapannya dzikir, dan diamnya berpirkir.”

“Wahai Syeikh, bagaimana kabar Anda hari ini?”

Ar-Rabi’ menjawab, “Dalam keadaan lemah, penuh dosa, memakan rizki Nya, dan menanti ajalnya.”

Sang murid, Hilal, bermaksud mau mengobati gurunya. Ia pun menawarkan untuk dipanggilkan seorang tabib yang dikenal manjur dalam pengobatan.

Namun, sang guru, Ar-Rabi’ menjawab, “Wahai Hilal, aku tahu bahwa obat itu benar-benar berkhasiat. Namun aku belajar dari kaum Aad, Tsamud, penduduk Rass dan kaum serupa mereka. Bahwa mereka sangat mencintai dunia, dan rakus dengan segala perhiasannya.”

Rabi’ bin Khutsaim melanjutkan, “Keadaan mereka lebih kuat dan lebih ahli dari kita. Di tengah bahkan mereka banyak tabib, namun tetap saja ada yang sakit. Akhirnya tidak tersisa lagi yang mengobati dan yang diobati karena mereka semua binasa,” ujarnya.

Kemudian, beliau menghela nafas panjang dan meneruskan ucapannya, “Seandainya itulah penyakitnya, tentu aku akan berobat.”

Mundzir penasaran. Lantas, bertanya apa penyakit yang dideritanya.

Dijawab Rabi’ bin Khutsaim, “Penyakitnya dosa-dosa.”

Mundzir bertanya lagi, “Lalu, apa obatnya?”

Dijawab lagi, “Obatnya, istighfar.”

Mundzir masih penasaran. Ia kemudian mengejar dengan pertanyaan lain.

“Bagaimana caranya agar kesehatan Anda bisa pulih?”

Dijawab, “Dengan bertaubat, kemudian tidak mengulangi dosanya.”

Lalu Rabi’ bin Khutsaim menatap kedua tamunya dan berpesan, “Dosa yang tersembunyi. Dosa yang tersembunyi. Waspadalah kalian terhadap dosa yang meski tersembunyi dari orang-orang, namun jelas bagi Allah, segeralah datangkan obatnya!”

Mundzir bertanya, “Apa obatnya?”

Rabi’ bin Khutsaim menegaskan, “Dengan taubat nasuha.”

Setelah itu, Hilal meminta, “Wahai Syaikh, berilah aku nasihat.”

Rabi’ bin Khutsaim menasehati.

“Wahai Hilal, janganlah engkau terpedaya dengan banyaknya sanjungan orang terhadapmu. Sebab orang-orang tidak mengetahui siapa dirimu yang sebenarnya, melainkan hanya melihat lahiriahmu saja. Ketahuilah, sesungguhnya engkau tergantung amalanmu, setiap amalan yang dikerjakan bukan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, akan sia-sia.”

Mundzir tak mau kalah, ia meminta nasihat.

“Wahai Syaikh, berilah wasiat kepadaku juga, semoga Allah membalas kebaikan Anda.”

Rabi’ bin Khutsaim menyampaikan, “Wahai Mundzir, bertakwalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap ilmu yang telah kau ketahui, dan yang masih tersembunyi bagimu. Serahkanlah kepada yang mengetahuinya. Wahai Mundzir jangan sekali-kali salah satu dari kalian berdoa: ‘Ya Allah, aku telah bertaubat’, lalu tidak melakukannya, sebab itu dianggap dusta.”

Namun, katakanlah: “Ya Allah, ampunilah aku.”

Maka, lanjut Rabi’ bin Khutsaim, “Itu akan menjadi doa. Ketahuilah hai Mundzir, tidak ada kebaikan dalam ucapan melainkan tahlil, tahmid, takbir, dan tasbih kepada Allah. Lalu bertanya tentang kebaikan, menjaga dari kejahatan, menyeru yang ma’ruf, mencegah yang mungkar, dan membaca Alquran.”

sumber : https://kaltimtara.republika.co.id/posts/247750/secarik-nasihat-tabiin-ar-rabi-bin-khutsaim
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطٰنُ كَمَآ اَخْرَجَ اَبَوَيْكُمْ مِّنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْاٰتِهِمَا ۗاِنَّهٗ يَرٰىكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهٗ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْۗ اِنَّا جَعَلْنَا الشَّيٰطِيْنَ اَوْلِيَاۤءَ لِلَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ
Wahai anak cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.

(QS. Al-A'raf ayat 27)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement