Senin 27 Nov 2023 09:55 WIB

Ditjen Hubdat Terus Dorong Terwujudnya Zero Accident pada TSDP

Diperlukan komitmen bersama untuk menjadikan keselamatan sebagai budaya.

Untuk menerapakan keselamatan pada TDSP telah diatur dalam Peraturan Menteri No. 91 Tahun 2021.
Foto: Dok. Republika
Untuk menerapakan keselamatan pada TDSP telah diatur dalam Peraturan Menteri No. 91 Tahun 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keselamatan harus menjadi budaya semua pihak, termasuk institusi, operator atau stakeholders transportasi. Untuk ini Kementerian Perhubungan (Kemenhub), melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Darat (Ditjen Hubdat) terus mendorong terwujudnya Zero Accident pada Transportasi Sungai, Danau dan Penyebrangan (TSDP).

Hal ini diungkapkan oleh Direktur Transportasi Sungai, Danau dan Penyeberangan, Lilik Handoyo pada saat menjadi salah seorang pembicara pada Focus Group Discussion (FGD) dengan tema ‘Peran Asosiasi INFA & PORT dalam memajukan industri transportasi sungai, danau dan penyeberangan nasional’, di Jakarta belum lama ini. 

Menurutnya, diperlukan suatu komitmen bersama baik itu regulator, operator, dan juga pengguna jasa untuk menjadikan keselamatan sebagai budaya. Sehingga, pemenuhan aturan tentang keselamatan kapal, kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM) yang andal menjadi tidak lagi untuk sekedar pemenuhan tanggung jawab dan kewajiban melainkan sudah menjadi kebutuhan.

“Saat ini ada beberapa permasalahan mendasarnya di antaranya, armada kapal yang tidak laik berlayar, lemahnya penerapan dan pemenuhan standar keselamatan, serta tidak adanya pengawasan keselamatan. Untuk ini, keselamatan harus menjadi budaya institusi, operator atau stakeholders. Dimulai dari evaluasi resiko (risk management), mitigasi, contingency plan hingga penerapan aturan-aturan yang harus dipenuhi oleh kapal,” kata Lilik dalam keterangannya yang diterima Republika.co.id.

Ia juga menjelaskan, bahwa untuk menerapakan keselamatan pada TDSP telah diatur dalam Peraturan Menteri No. 91 Tahun 2021 bahwa zonasi dikawasan pelabuhan yang digunakan untuk melakukan angkutan terbagi atas beberapa zona. Pertama zona A, yaitu A1 loket, parkir kendaraaan bagi pengantar, A2 ruang tunggu bagi calon penumpang dan A3 pemeriksaan tiket penumpang. Lalu Zona B yang terdiri dari B1 jembatan timbang dan toll gate kendaraan, B2 antrian kendaraan yang akan menyeberang dan B3 untuk area muat kendaraan siap masuk kapal/pemeriksaan tiket kendaraan.

Lalu zona selanjutnya, kata Lilik, adalah Zona C yang terdiri Dermaga dan fasilitasnya, Bunker BBM, Fasilitas Air Tawar, Fasilitas yang ditetapkan sebagai fasilitas vital. Selanjutnya Zona D yang merupakan wilayah khusus terbatas dan area komersil. Dan terakhir Zona E yang merupakan area parkir kendaraan yang sudah memiliki tiket namun belum waktunya masuk pelabuhan penyeberangan.

“Lalu untuk meningkatkan keselamatan, maka pemerintah telah mengatur dalam proses naiknya kendaraan ke atas kapal penyebrangan. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri nomor 103 tahun 2017. Dimana setiap pelabuhan penyeberangan wajib menyediakan fasilitas portal dan jembatan timbang. Fasilitas portal sebagaimana dimaksud adalah memiliki ketinggian yang disesuaikan dengan tinggi geladak kapal pada lintasan. Dan kendaraan yang mengangkut barang berbahaya wajib melaporkan kepada Operator Pelabuhan,” katanya. 

Barang berbahaya

Terkait kendaraan yang mengangkut barang berbahaya dan beracun (B3), kata Lilik, pihaknya mempunyai rujukan dari Undang-Undang nomor 17 tahun 2008 tentang pelayaran. Dimana operator kapal wajib lapor ke Syahbandar sebelum kapal yang akan mengangkut barang berbahaya tiba.

Lalu Syahbandar melakukan pengawasan bongkar muat barang berbahaya. Sedangkan operator pelabuhan wajib menyediakan tempat penyimpanan atau penumpukan barang berbahaya dan barang khusus  untuk menjamin keselamatan dan kelancaran arus lalu lintas barang di pelabuhan.

“Dalam aturan tersebut juga ada sanksi bagi pihak-pihak yang melanggar. Jika mengangkut B3 tidak sesuai spesifikasi : ada Pidana 3 tahun dan denda Rp 400 juta. Jika menyebabkan kerugian harta : Pidana 4 Tahun dan Denda Rp 500 juta dan jika menyebabkan kematian dan kerugian harta maka pidana 10 Tahun dan denda Rp 1,5 miliar,” katanya.

Tidak hanya itu, tambah Lilik, bagi kendaraan yang tidak melakukan pemberitahuan kepada syahbandar, maka akan terkena pidana enam bulan dan denda Rp 100 juta. Hal serupa bagi nakhoda yang melakukan bongkar/muat barang berbahaya tanpa persetujuan Syahbandar akan terkena pidana enam bulan dan denda Rp 100 juta.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement