Senin 27 Nov 2023 21:48 WIB

Sambut IKN, Universitas Mulia Balikpapan Dorong Pemanfaatan Teknologi Ketahanan Pangan

Universitas Mulia gelar simposium Ketahanan Pangan & Teknologi Informasi Tahun 2024

Arsip foto - Desain Kawasan Inti Pusat Pemerintahan atau KIPP Ibu Kota Negara Nusantara.
Foto: ANTARA/HO-Kementerian PUPR
Arsip foto - Desain Kawasan Inti Pusat Pemerintahan atau KIPP Ibu Kota Negara Nusantara.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Penunjukan Kalimantan Timur (Kaltim) sebagai Ibu Kota Nusantara (IKN) jadi tantangan sendiri dalam pemenuhan kebutuhan pangan, terlebih pada 2045 ditargetkan akan ada 1,9 juta orang berpindah ke IKN. Menyikapi itu, Universitas Mulia Balikpapan mencoba mengambil peran dengan mengkaji lebih jauh langkah yang dapat dilakukan agar Kaltim lebih siap dalam pemenuhan kebutuhan pangan.

"Tugas kami sebagai akademisi di Kaltim ini tidak hanya di kampus, menghasilkan mahasiswa yang cemerlang. Tapi juga proses penelitian dan pengabdian di masyarakat. Termasuk IKN ini, kami ingin mengkaji lebih jauh agar Kaltim ini lebih siap dalam kebutuhan pangan ini," ujar Rektor Universitas Mulia Balikpapan Muhammad Ahsin Rifa'i lewat siaran pers, Senin (27/11/2023). 

Menurut dia, pihaknya mengambil peran penting dalam proses pembangunan IKN dari sisi ilmu pengetahuan untuk memanfaatkan kemajuan teknologi sebagai landasan penguatan kebutuhan pangan. Peran itu dibuktikan melalui kegiatan simposium bertajuk ‘Ketahanan Pangan & Teknologi Informasi Tahun 2024’ yang diharapkan dapat memberikan solusi yang muncul dalam persoalan ketahanan pangan.

Ahsin menjelaskan, tujuan diadakannya kegiatan itu adalah meningkatkan pemahaman tentang isu-isu terkini dalam ketahanan pangan dan teknologi informasi. Selain itu, terjadi kolaborasi antara pemangku kepentingan yang terlibat, baik pemerintah, akademisi, swasta, dan masyarakat umum.

Selain itu, Ahsin juga berharap agar tersedia platform untuk berbagi penelitian dan pengalaman terkait ketahanan pangan dan teknologi informasi, serta kajiannya di bidang ekonomi bisnis dan aspek hukum. "Serta mendorong inovasi dan pengembangan solusi untuk masalah ketahanan pangan dengan pemanfaatan teknologi informasi terbaru," jelas dia.

Guru besar Universitas Gunadarma Achmad Benny Mutiara yang hadir pada kegiatan itu menyoroti pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan produksi serta membangun industri pertanian yang lebih berkelanjutan. Pria yang kerap disapa Benny itu menerangkan, pemanfaatan kecerdasan buatan dan robot sejatinya sudah banyak diterapkan di sejumlah negara maju.

"Tentu kita harus segera beradaptasi dengan kemajuan teknologi dalam masyarakat 5.0 ini. Menerapkan smart farming serta memanfaatkan big data dalam industri pertanian, diyakini akan membuat ketahanan pangan kita lebih kuat," jelas dia.

Sementara itu, Guru besar Universitas Bina Nusantara Engkos Achmad Kuncoro mengharapkan agar pemanfaatan teknologi dalam industri agrikultur dapat menciptakan sharing economy yang lebih adil di Indonesia. Di  mana petani jauh lebih berdaya, dibandingkan pemilik modal atau tengkulak yang selama ini memonopoli pasar dan distribusi.

Dia menerangkan, melelalui pemanfaatan teknologi informasi akan tercipta kemakmuran bagi petani, seperti mandat dari Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33. Mimpi itu bisa terjadi, jika pola ekonomi berbasis koperasi dapat diterapkan secara menyeluruh dalam industri pertanian, perikanan, maupun peternakan.

"Namun yang memulai ini harus di perguruan tinggi, sehingga bukan korporat besar yang menguasai. Karena di era modern ini, sharing economy bisa menjadi model bisnis yang baik apabila tidak terjadi monopoli,” kata dia. Jika yang menciptakan aplikasi untuk pertanian adalah perusahaan besar yang sekadar mencari keuntungan, sambung dia, maka akan sulit bagi petani kita untuk mendapatkan kemakmuran seperti yang kita impikan bersama.

Di samping itu, Guru besar Universitas Trunojoyo Deni SB Yuherawan menyoroti banyaknya marjinalisasi terhadap para petani dalam pengembangan industri pertanian. Dia menegaskan, dalam program food estate kerap terjadi konflik argaria yang menyebabkan terjadinya kriminalisasi terhadap aktivitas petani, atau bahkan pengguran paksa dan pembebasan lahan atas nama kepentingan umum.

Penyebab dari konflik agraria yang berkepanjangan ini ucap dia, dikarenakan pemerintah terlihat tidak serius dalam menjalankan Reforma Agraria. Sehingga, tanah lebih banyak dikuasai oleh korporasi atau pemilik modal, dan pemerintah lebih mementingkan pembangunan infrastruktur dari pada kemakmuran masyarakat salah satunya melalui Program Strategis Nasional yang berdampak terhadap pembebasan lahan masyarakat.

Untuk itu dia mendorong agar dalam pengembangan industri pertanian atau lainnya, harus tetap mengedepankan prinsip-prinsip panduan mengenai bisnis dan hak asasi manusia atau yang disebut UNGP. "Perlu ada kolaborasi aktif dari negara, korporasi dan masyarakat agar tidak terjadi perampasan hak asasi manusia dalam menjalankan proses bisnis. Negara wajib melindungi warga negara dari aktivitas bisnis yang berpotensi melanggar hak asasi manusia," kata dia.

Direktur Eksekutif Yayasan Airlangga Agung Sakti Pribadi berharap hasil simposium itu dapat menjadi acuan bagi pemerintah dan stakeholder terkait lainnya sebagai landasan menciptakan ketahanan pangan berbasiskan teknologi informasi yang lebih modern dan maju, yang menerapkan prinsip keadilan. Untuk itu, pihaknya selaku pemilik Universitas Mulia Balikpapan mendorong agar terjadi focus grup discussion sebagai tindak lanjut dari simposium tersebut.

"Semoga ide dan pemikiran kita hari ini bisa berlanjut dalam FGD yang akan dilaksanakan selanjutnya. Sehingga kita berkontribusi bersama dalam proses pembangunan IKN sebagai pusat peradaban modern Indonesia dan masyarakat global," kata Agung.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement