REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Surat kabar the Washington Post melaporkan, Gedung Putih dilanda perpecahan mengenai kebijakan luar negeri Amerika Serikat (AS) pada perang Israel-Gaza. Harian itu melaporkan beberapa orang di lingkaran Presiden Joe Biden khawatir ia tidak membedakan antara citra idealis negara Israel dan realitas pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu yang mencakup kelompok ekstrem kanan.
"Komitmen historis pribadi presiden terhadap Israel tidak dimodulasi kenyataan Israel (saat) ini memiliki pemerintahan yang merupakan pemerintahan terburuk yang pernah ada," kata seorang sekutu pemerintah Biden yang tidak disebutkan namanya pada the Washington Post, Senin (27/11/2023).
"Biden meremehkan sejauh mana Anda harus memisahkan antara bagaimana Israel bereaksi terhadap hal ini dan bagaimana pemerintah Netanyahu bereaksi terhadap hal ini," tambahnya.
The Washington Post yang mewawancara puluhan staf, pejabat tinggi dan sekutu pemerintah Biden melaporkan para pejabat AS memandang Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben Gvir dan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich sebagai pengaruh yang sangat mengganggu yang mempersulit Netanyahu untuk mengendalikan elemen-elemen ekstremis dalam masyarakat Israel.
"Ia selalu melihat dari balik bahunya pada konsekuensi politik dari segala sesuatu," kata seorang pejabat AS tentang Netanyahu.
"Jadi, pada saat Anda membutuhkan seseorang untuk membuat keputusan yang tepat untuk membiarkan bahan bakar masuk sehingga orang-orang memiliki air, atau mengendalikan kekerasan pemukim Tepi Barat, dia terus melihat ke belakang pada suara-suara ekstrem kanan di kabinetnya yang dapat menolak dan meruntuhkan pemerintahannya," tambah pejabat yang tidak bersedia disebutkan namanya.
Seorang pejabat senior pemerintah Biden mengatakan lima hari pertama setelah serangan mendadak Hamas, ketika para pejabat Israel diliputi kemarahan dan kesedihan, karena mereka yakin Hizbullah dan Iran berada di balik kekejaman tersebut. Pemerintah AS membantu mencegah Israel melancarkan serangan terhadap Hizbullah yang berbasis di Lebanon, langkah yang dapat membuka front baru dalam perang.
The Washington Post mencatat Biden memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Tel Aviv pada tanggal 18 Oktober, sebagian untuk menenangkan warga Israel dan mengulur waktu sebelum mereka melancarkan serangan darat ke Gaza. Dalam sebuah pertemuan dengan kabinet perang Netanyahu, presiden berterus terang tentang strategi mereka.
"Saya sepenuhnya tidak setuju dengan kebijakan itu," kata Biden tentang Israel yang pada awalnya menolak mengizinkan bantuan masuk ke Gaza, menurut seorang pejabat senior pemerintahan yang tidak bersedia disebutkan namanya karena membahas isu diplomasi yang sensitif.
Saat itu, kata pejabat itu, Presiden mengatakan, AS tidak dapat mendukung pengepungan menyeluruh terhadap Gaza di mana Israel memutus akses terhadap makanan, bahan bakar, air, dan listrik.
The Washington Post juga mencatat selama masa kepresidenannya, Biden tidak memprioritaskan isu Israel-Palestina dalam kebijakan luar negerinya, dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk isu-isu seperti Cina dan perang Rusia-Ukraina.
Selama bertahun-tahun ia melihat para presiden Amerika mencoba dan gagal membawa perdamaian yang komprehensif ke Timur Tengah, dan menyimpulkan upaya-upaya semacam itu akan gagal kecuali jika Israel dan Palestina memiliki pemimpin yang sangat berkomitmen terhadap proses tersebut.
Hal ini berarti ketika serangan meletus, AS tidak memiliki keterlibatan yang signifikan dalam dialog Israel-Palestina. Surat kabar AS itu menambahkan Menteri Luar Negeri Antony Blinken menanggung beban kemarahan Negara Arab atas jumlah korban sipil yang sangat besar di Gaza karena dia telah melakukan perjalanan ke Timur Tengah dua kali dalam sebulan terakhir.
Blinken juga menggunakan retorika yang lebih kuat daripada presiden dalam menuntut lebih banyak pengekangan."Sudah terlalu banyak warga Palestina yang terbunuh. Terlalu banyak yang menderita dalam beberapa pekan terakhir ini," kata Blinken pada 10 November lalu.
"Masih banyak yang bisa dan harus dilakukan untuk meminimalisir kerugian bagi warga sipil Palestina."
Perselisihan utama antara Biden dan Netanyahu bukanlah mengenai gencatan senjata, yang tidak didukung oleh keduanya, namun mengenai pandangan di Washington bahwa Israel memiliki standar proporsionalitas yang tidak dapat diterima.
Dalam upayanya untuk menghabisi Hamas, Israel menggunakan bom-bom canggih, meratakan pemukiman dan meruntuhkan gedung-gedung bertingkat, taktik yang tak pelak lagi menewaskan banyak warga sipil dan, menurut banyak pihak, semakin meradikalisasi penduduk Palestina.
Para pejabat AS mengatakan dalam beberapa pekan terakhir Biden mengambil pendekatan yang lebih konfrontatif terhadap Israel di depan umum dan secara pribadi, meskipun tidak selalu terlihat jelas di hadapan publik.
"Biden telah mengecam Bibi (nama panggilan Netanyahu) dengan sangat keras atas kekerasan pemukim dan korban sipil secara pribadi," kata seorang pejabat.
Di hadapan wartawan Biden mengatakan "jeda kemanusiaan" yang dilakukan Israel dalam kampanye pengebomannya seharusnya terjadi lebih cepat dan berlangsung lebih lama. Dalam sebuah artikel opini di the Washington Post, Biden mengatakan AS siap untuk mengeluarkan larangan visa terhadap para pemukim Israel yang menyerang warga sipil Palestina di Tepi Barat.
Banyak pejabat senior khawatir Israel tidak akan menahan diri ketika mereka memindahkan operasinya ke selatan Gaza dan khawatir semakin lama konflik ini berlangsung, semakin berbahaya bagi Biden secara politis dan diplomatis. Sementara para pejabat Israel mengatakan konflik ini dapat berlangsung selama satu tahun atau lebih.
Sementara para pejabat AS tetap berharap konflik ini tidak akan meluas hingga ke jantung kampanye 2024, karena kecepatan serangan Israel dan asesmen yang Israel tidak memiliki sumber daya untuk menggelar operasi selama itu.
Namun, para pejabat Biden berada dalam situasi yang semakin menyulitkan. "Masalah yang mereka hadapi, yang merupakan masalah yang mereka hadapi sejak hari pertama, adalah bahwa Israel (tidak memiliki) strategi untuk melakukan apa yang ingin mereka lakukan yang tidak menyakiti, membunuh, dan mengusir banyak orang Palestina dari Gaza," kata salah satu penasihat Biden.
"Mereka harus pergi ke selatan dan melakukan hal yang sama. Saya tidak tahu bagaimana Anda melakukan hal itu dengan lebih dari 2 juta orang di selatan," tambahnya.