REPUBLIKA.CO.ID, GAZA – Sebuah kelompok Muslim di Thailand berbicara langsung dengan Hamas dalam upayanya untuk memastikan bahwa sandera asal Thailand termasuk dalam kelompok pertama yang akan ditukar di Gaza selama gencatan senjata sementara dengan Israel.
“Kami adalah satu-satunya pihak yang berbicara dengan Hamas sejak awal perang untuk meminta pembebasan warga Thailand,” kata Lerpong Syed dari Asosiasi Alumni Thailand-Iran dilansir dari laman Middle East Monitor pada Selasa (28/11/2023).
Sementara, tiga lagi warga Thailand yang ditahan oleh Hamas dibebaskan pada Ahad. Ini menambah jumlah warga negara Thailand yang dibebaskan menjadi tujuh belas sejak gencatan senjata empat hari dimulai pada Jumat (24/11/2023).
Ketua asosiasi tersebut merupakan bagian dari kelompok Muslim Thailand yang dibentuk oleh ketua parlemen negara tersebut Wan Muhammad Noor Matha yang melakukan perjalanan ke Teheran pada Oktober dan berbicara langsung dengan perwakilan Hamas. Meskipun bukan perundingan resmi, perundingan paralel ini tidak dikecam oleh pemerintah Thailand.
“Jika Thailand hanya mengandalkan kementerian luar negeri atau meminta bantuan negara lain, kemungkinan pembebasan (sandera Thailand) bersama kelompok pertama akan sangat rendah,” kata Lerpong.
Dia melanjutkan, negara lain yang menyandera seperti Amerika Serikat, Jerman, dan Prancis memiliki pengaruh lebih besar.
Kementerian Luar Negeri Thailand tidak dapat segera dihubungi untuk memberikan komentar mengenai klaim Lerpong. Namun, Menteri Luar Negeri Parnpree Bahiddha-Nukara mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat secara terpisah atas pembebasan tersebut sejauh ini dalam sebuah postingan di platform media sosial X.
“Selamat kepada semua dan rasa terima kasih kami yang sebesar-besarnya atas semua upaya untuk menjamin pembebasan mereka. Kami terus menyerukan pembebasan warga Thailand yang masih disandera,” kata Bahiddha-Nukara.
Lerpong mengatakan kelompok Thailand-Iran menyampaikan kepada Hamas dalam pertemuan tiga jam bulan lalu bahwa warga Thailand bukan pihak dalam konflik dan harus dibebaskan. Gerakan perlawanan memberikan jaminan bahwa warga Thailand akan dibebaskan terlebih dahulu dan tanpa syarat setelah gencatan senjata terjadi.
Gencatan senjata sementara ini merupakan penghentian pertama pertempuran dalam tujuh pekan semenjak Hamas melintasi perbatasan ke negara pendudukan dan menyandera sekitar 240 orang setelah pertama kali menyerang barak dan pemukiman tentara Israel selatan pada 7 Oktober.
Semenjak saat itu, Haaretz mengungkap bahwa helikopter dan tank Angkatan Pertahanan Israel sebenarnya telah membunuh banyak dari 1.200 tentara dan warga sipil yang diklaim oleh Israel telah dibunuh oleh Hamas.
Baca juga: Tujuh Kerugian Ekonomi Zionis Israel Akibat Agresinya di Jalur Gaza
Sebelum perang, sekitar 30 ribu pekerja Thailand bekerja di sektor pertanian Israel, yang merupakan salah satu kelompok pekerja migran terbesar di negara tersebut.
“Tim kami mengambil keputusan yang tepat sejak awal dengan pergi ke Iran dan berbicara langsung dengan Hamas,” kata anggota kelompok Thailand lainnya, politisi veteran Areepen Uttarasin.
Namun, sebuah sumber yang mengetahui mengenai perundingan tersebut mengatakan bahwa perjanjian penyanderaan tersebut dimediasi Qatar dan Mesir dalam jalur negosiasi yang dibuka ketika menteri luar negeri Thailand mengunjungi Qatar pada 31 Oktober.
Iran juga mengatakan bahwa pihaknya memfasilitasi pembebasan tersebut. Menurut Hamas, pembebasan tersebut berkat upaya Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.
Sebanyak 70 juta penduduk Thailand mayoritas beragama Budha dan sebagian besar hidup berdampingan secara damai dengan minoritas Muslim, meskipun pemberontakan separatis yang sudah berlangsung lama di wilayah selatan terkadang berubah menjadi kekerasan.