Rabu 29 Nov 2023 01:34 WIB

Warga Israel Ramai-Ramai Konsumsi Obat Anti-Depresi di Tengah Perang dengan Hamas

Jumlah resep yang diberikan untuk mengatasi depresi dan trauma meningkat 11 persen.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Nidia Zuraya
Depresi (ilustrasi).  Penggunaan obat resep untuk mengobati depresi dan trauma di Israel telah melonjak pada bulan setelah perang Gaza dimulai.
Foto: www.freepik.com
Depresi (ilustrasi). Penggunaan obat resep untuk mengobati depresi dan trauma di Israel telah melonjak pada bulan setelah perang Gaza dimulai.

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Penggunaan obat resep untuk mengobati depresi dan trauma telah melonjak pada bulan setelah perang Gaza dimulai, demikian laporan organisasi perawatan kesehatan Israel.

Clalit Health Services, Organisasi Manajemen Kesehatan (HMO) yang merawat lebih dari separuh warga Israel dan 80 persen warga yang tinggal di wilayah utara dan selatan yang dilanda perang, mengatakan bahwa jumlah resep yang diberikan untuk mengatasi kondisi tersebut meningkat 11 persen antara bulan September dan Oktober.

Baca Juga

Peningkatan itu tercermin dalam resep yang dikeluarkan untuk berbagai obat psikiatri dan obat penenang. Termasuk antidepresan dan obat anti-kecemasan dari keluarga SSRI (Cipralex, Lustral, Prozac, dan sejenisnya), serta obat-obatan dari keluarga benzodiazepin (seperti Xanax, Kolonopin, Loriven, dan lain-lain).

Menurut HMO, sebagian besar kasus baru diresepkan obat untuk penggunaan jangka pendek, terutama untuk mengurangi kecemasan, dan belum tentu sebagai solusi jangka panjang. Sementara itu, pembelian telah meningkat di apotek untuk obat bebas dan suplemen nutrisi, beberapa di antaranya didasarkan pada bahan alami, untuk relaksasi dan pengurangan stres.

Maccabi Health Services, sebuah HMO yang mengasuransikan sekitar 2,6 juta warga Israel, mengatakan bahwa jumlah resep yang dibuatnya untuk obat anti-depresan dan trauma serta obat penenang telah meningkat 20 persen pada bulan-bulan pertama perang.

"Tidak semua orang yang mengunjungi dokter akan pulang dengan membawa resep," kata Dr Tali Shmueli, kepala psikiater Maccabi.

"Ada orang-orang yang hanya perlu ditelepon atau dirujuk untuk menjalani terapi. Ada juga yang akan diarahkan untuk menggunakan obat penenang alami. Obat-obatan tersebut tidak membuat ketagihan, tidak memiliki efek samping dan dapat membantu untuk jangka waktu tertentu."

Shmueli mengatakan bahwa Maccabi lebih memilih jika memungkinkan untuk tidak memberikan obat psikiatri saat ini dengan asumsi bahwa sebagian besar kasus yang didapatnya disebabkan oleh kecemasan jangka pendek, bukan kecemasan kronis.

"Sebagai contoh, seorang ibu datang kepada kami yang putranya mendapat pemberitahuan pemanggilan cadangan, dan dia merasa cemas dan membutuhkan bantuan. Dalam beberapa hari, keadaan akan kembali normal, dan dia mungkin tidak memerlukan perawatan lebih lanjut, katanya. 

"Kadang-kadang, respons awal, berbicara dengan seorang profesional atau rujukan untuk perawatan yang ditargetkan, bersama dengan alat relaksasi, seperti latihan pernapasan, sudah cukup untuk memberikan kelegaan.

"Banyak dari mereka yang mencari bantuan tidak benar-benar membutuhkan pengobatan psikiatri," kata Shmueli. "Namun, dalam kasus-kasus di mana kami benar-benar melihat bahwa seseorang tidak berfungsi, kami memberikan resep obat."

Resep obat untuk kecemasan dan depresi efektif dalam banyak kasus, tetapi juga memiliki kekurangan. Sebagai contoh, efek obat dari golongan SSRI tidak langsung terlihat; pasien baru akan merasakan perubahan setelah tiga pekan atau lebih pemakaian secara terus-menerus. 

Obat penenang dari keluarga benzodiazepin, yang ditujukan untuk pengobatan kecemasan atau insomnia jangka pendek, adalah obat adiktif yang penggunaannya dalam jangka panjang menyebabkan toleransi dan kecanduan.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement