REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Degradasi lahan kian mengkhawatirkan kehidupan manusia. Sebab itu, degradasi lahan menjadi salah satu tantangan terbesar yang harus dihadapi manusia.
Senior Scientist di CIFOR-ICRAF, Himlal Baral menjelaskan, banyak sekali lahan yang telah terdegradasi. Bahkan, lahan yang dimiliki semakin terbatas secara global.
Di Indonesia terutama Jawa Timur dan Jawa Tengah juga memiliki jumlah lahan yang terbatas. "Bahkan, kini pemerintah Indonesia memiliki target yang sangat jelas untuk merestorasi 14.000.000 hektar pada tahun 2030," kata Himlal dalam kuliah tamu garapan Prodi Kehutanan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Senin (27/11/2023).
Merujuk kondisi tersebut, pihaknya bekerja sama dengan banyak pemerintah, petani, universitas, kelompok masyarakat, dan pengelola lahan petani. Hal ini dilakukan mengingat restorasi tidak murah, membutuhkan biaya, waktu, dan tenaga untuk memulihkan lahan.
Untuk merestorasi satu hektar lahan, dibutuhkan biaya sebesar 100 dollar AS hingga 1.000 dollar AS . Restorasi relatif bukan merupakan prioritas utama pemerintah. Tidak seperti pendidikan atau pembangunan infrastruktur kesehatan yang memiliki perhatian lebih. Maka dari itu, agar pengelolaan lahan menjadi lebih baik, ia menyarankan untuk mengurangi penggunaan pestisida, lebih sedikit pupuk atau memanfaatkan pupuk organik.
Selain itu, harus ada cara pemulihan lahan dan menjadikannya menguntungkan. Dalam hal ini, Himlal menyebut Climate Smart Agroforestry adalah solusi yang paling menguntungkan untuk memulihkan lahan. Ini disebut sebagai jasa ekosistem dan bukan hal yang baru bagi masyarakat Jawa Timur.
Ia mencontohkan jasa penyediaan, jasa pengaturan, jasa kebudayaan, dan jasa penunjang mulai dari produksi pangan hingga mineral. Di Jawa Timur sendiri sangat padat penduduknya sehingga anda tidak memiliki banyak lingkungan alam di sini. Sebab itu, agroforestri dapat menjadi alat yang sangat besar dan berpotensi untuk menyediakan berbagai barang dan jasa.
Sementara itu, Kepala BPDAS RH Brantas Sampean, Kunto Hirsilo menyebutkan, beberapa strategi dalam menanggulangi kelemahan ini. Beberapa di antaranya seperti keterlibatan sumber daya manusia (SDM) instansi maupun lembaga setempat, serta memanfaatkan dana APBD dan dana internasional. Kemudian bekerja sama dengan masyarakat, korporasi maupun instansi lain.
"Begitupun dengan peningkatan kapasitas SDM dalam forum dan lembaga yang berkaitan dengan perkembangan teknologi," ungkapnya dalam keterangan pers yang diterima Republika.