REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Istilah stockholm syndrome ramai diperbincangkan di platform media sosial X yang dikaitkan dengan perang Hamas dan Israel. Pada masa gencatan senjata, Hamas dan Israel saling melepaskan tahanan mereka.
Banyak warganet yang menyebutkan tahanan Hamas memiliki wajah bahagia. Tak tanggung-tanggung, mereka dilaporkan berfoto dan melambaikan tangan kepada tentara Hamas. Perilaku ini dikaitkan dengan stockholm syndrome.
Sebenarnya, apa itu stockholm syndrome?
Dilansir WebMD, Kamis (30/11/2023), stockholm syndrome bukan diagnosis psikologis. Sebaliknya, ini adalah cara untuk memahami respons emosional beberapa orang terhadap penculik atau pelaku kekerasan.
Terkadang orang yang menjadi tahanan atau sasaran pelecehan dapat mempunyai perasaan simpati atau perasaan positif lainnya terhadap penculiknya. Hal ini tampaknya terjadi selama berhari-hari, berpekan-pekan, berbulan-bulan, atau bertahun-tahun di lokasi penawanan dan melakukan kontak dekat dengan penculiknya.
Ikatan dapat tumbuh antara korban dan penculiknya. Hal ini dapat menghasilkan perlakuan yang baik dan lebih sedikit dampak buruk dari pelaku karena mereka juga dapat menciptakan ikatan positif dengan korbannya.
Seseorang yang mengidap stockholm syndrome mungkin memiliki perasaan yang membingungkan terhadap pelakunya, termasuk.
- Cinta
- Simpati
- Empati
- Keinginan untuk melindungi mereka
Stockholm syndrome juga dapat menyebabkan sandera memiliki perasaan negatif terhadap polisi atau siapa pun yang mencoba melakukan penyelamatan.
Sindrom ini pertama kali....