REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA---Pasien yang masuk ICU rentan mengalami antimicrobial resistance (AMR) atau kebal antibiotik. Apa sebenarnya yang memicu AMR ini pada pasien ICU?
Dokter Spesialis Anestesi dan Konsultan Perawatan Intensif, dr Pratista Hendarjana, SpAn-KIC menjelaskan AMR adalah suatu kondisi di mana mikroba penyebab infeksi pada tubuh pasien sulit untuk dilawan oleh obat antibiotik, antivirus atau antijamur dan akhirnya menyebabkan pasien sulit sembuh dan perlu dirawat lebih lama.
Masalah ini adalah salah satu ancaman kesehatan masyarakat yang serius. Bahkan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memperkirakan akan terjadi 10 juta kematian pada tahun 2050 karena peningkatan kasus AMR. "AMR sangat rentan dialami pasien di ICU," ujar Pratista dalam webinar “Memitigasi Risiko AMR di ICU melalui Komunikasi yang Optimal antara Nakes dan Keluarga Pasien: Tepat Waktu, Tepat Pasien, Tepat Guna”, belum lama ini.
Intensive Care Unit (ICU) merupakan salah satu tempat di mana pasien menerima antibiotik sebagai salah satu terapi utama untuk menyembuhkan infeksi. Menurutnya resistensi itu timbul karena beberapa faktor, yaitu faktor pasien, kuman dan pemakaian antibiotik.
Faktor pertama soal pasien, daya tahan imunitas pasien yang mungkin tidak benar-benar prima, respons imunnya tidak sebaik orang yang sehat. Selain itu, pasien ini mungkin memiliki latar belakang kondisi yang memang tidak bagus yang berhubungan dengan imun.
Faktor kedua adalah pemakaian alat dan kuman. Jika memasang alat monitor yang dimasukkan langsung ke pembuluh darah, itu bisa menimbulkan risiko AMR. "Karena kita memanipulasi barrier yaitu kulit yang merupakan salah satu imun kita. Kemudian kita terobos, lukai, nah itu otomatis bisa kuman sekitar, jika higieniesnya tidak bagus bisa masuk ke dalam darah menyebabkan kuman yang berat dan itu bisa terjadi kuman yang resisten. Faktor lainnya pemakaian antibiotik, kalau tidak tepat maka kumannya bisa membuat penangkal. Kuman itu makhluk hidup, dia berusaha untuk tetap hidup,'' ungkap Pratista.
Jadi, ketika menyerang pasien atau manusia dan diberikan antibiotik atau antinya, ada kemungkinan sebagian besar mati, sehingga pasien bisa sembuh. Namun, ada sebagian kecil kuman yang bertahan hidup karena dia membuat penangkal yang bisa berupa enzim, pelindung, sistem pompa tertentu atau sistem kerjanya dihalangi.
"Kuman itu tumbuh atau mengendap di situ. Mungkin jumlahnya kecil di situ, pasien kelihatan sembuh. Tapi dua tiga hari jelek lagi, kuman itu berkembang, kenapa bisa berkembang? Karena imun pasien tidak bagus," ujar Pratista.
Atau penyebab lain penggunaan antibiotiknya kurang tepat. ''Seharusnya dosisnya tiga kali satu, ini hanya dua kali satu. Jadi kadar terapieutiknya belum tercapai, sehingga kumannya banyak mati suri. Mati suri kemudian membuat enzim, sehingga bisa menjadi resisten," ujarnya
Faktor penyebab lainnya adalah pemilihan antibiotiknya kurang tepat. ''Kuman A diberikan anti B, tidak cocok pasti. Jadi kuman A harus anti A, tapi kuman A bisa menyebabkan A plus. Anti A saja tidak bisa. Jadi waktu mengobati pasien di ICU, kita membantu pasien berjuang melawan penyakit salah satunya melawan kuman. Bukan otomatis membunuh kumannya tersebut tetap harus dibantu imun," kata Pratista.
Untuk itu, penggunaan antibiotik secara bijak dan rasional sangat penting untuk dipahami. Salah satu upaya untuk mendorong pengobatan yang jitu di ICU adalah dengan menciptakan kesempatan komunikasi yang produktif antara pasien dengan tenaga kesehatan yang bertugas. Namun banyak dari masyarakat yang ragu berkomunikasi dengan tenaga kesehatan.