REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Juru Bicara Kementerian Kesehatan di Gaza, Ashraf Al-Qudra menyatakan, Israel mengendalikan masuknya bantuan medis penting ke Jalur Gaza yang terkepung. Dia menyerukan agar sistem kesehatan di Gaza dilindungi agar dapat menjalankan layanan vitalnya.
Hal tersebut diperlukan mengingat volume bantuan medis yang masuk ke rumah sakit belum mencapai tingkat yang diinginkan. Dilansir Middle East Monitor, Jumat (12/1/2023), dia menekankan perlunya memfasilitasi pemindahan ratusan warga Palestina yang terluka keluar dari Gaza untuk menyelamatkan nyawa mereka.
Bantuan medis memang diizinkan memasuki Jalur Gaza selama gencatan senjata sementara yang berlangsung selama tujuh hari. Namun nyatanya Israel memeriksa dan mengontrol barang-barang mana yang diizinkan masuk ke wilayah tersebut dan menetapkan ke mana bantuan tersebut dapat dikirimkan.
Akibatnya, Kota Gaza dan daerah lain di Gaza utara sebagian besar terputus dari pasokan medis dan bantuan kemanusiaan lainnya bahkan selama jeda kemanusiaan.
Sekjen PBB Antonio Guterres bahkan menyampaikan kepada Dewan Keamanan PBB pada hari Rabu bahwa tingkat bantuan yang dikirim sama sekali belum memadai untuk memenuhi kebutuhan besar lebih dari 2 juta orang.
Meski ada gencatan senjata, hampir tidak ada perbaikan dalam akses warga di wilayah utara terhadap air karena sebagian besar fasilitas produksi air utama ditutup karena kekurangan bahan bakar dan beberapa juga karena kerusakan.
Juru Bicara PBB Stephane Dujarric menuturkan, PBB dan personelnya di Jalur Gaza tidak akan meninggalkan upaya memberikan bantuan kemanusiaan dalam keadaan apa pun, katanya.
"Tentu saja, apa yang ingin kami lihat adalah kelanjutan dari situasi yang kita alami saat ini di mana tidak ada pertempuran sehingga kita dapat menjangkau lebih banyak orang dengan volume yang lebih besar," kata Dujarric.
Terkait serangan terhadap fasilitas kesehatan di Gaza dan Tepi Barat yang diduduki ditanggapi dengan keprihatinan. "Fasilitas kesehatan tidak boleh digunakan dalam pertempuran," katanya.