REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Bantuan kemanusiaan untuk Gaza tertahan di dekat perbatasan Mesir ketika Israel melanjutkan operasi militernya pada Jumat (1/12/2023). Pengemudi truk mengatakan, mereka memperkirakan terjadi penundaan lebih lanjut pada pengiriman yang rumit.
Pengiriman bantuan sempat dipercepat selama gencatan senjata selama seminggu. “Pengeboman telah berlangsung sejak pukul tujuh pagi. Ada pesawat dan artileri dan kami belum bergerak,” kata pengemudi Saleh Ebada, yang sudah menunggu delapan hari untuk memasuki persimpangan untuk pemeriksaan ketika pertempuran dimulai kembali.
Sumber keamanan Mesir dan pejabat Bulan Sabit Merah mengatakan, truk bantuan dan bahan bakar telah berhenti masuk dari Mesir. Para pejabat PBB menggambarkan, dimulainya kembali pertempuran sebagai bencana besar. PBB mengatakan, kelanjutan pengiriman bantuan masih diragukan.
Seorang juru bicara perbatasan Rafah membenarkan bahwa masuknya truk-truk yang membawa bantuan, bahan bakar dan gas memasak yang sangat dibutuhkan dari Mesir ke Jalur Gaza telah terhenti karena berlanjutnya pengeboman Israel. Rafah telah menjadi satu-satunya pintu masuk bantuan ke Gaza sejak Israel mulai mengepung dan membombardir wilayah pesisir tersebut.
Juru bicara Kementerian Kesehatan di Gaza, Ashraf al-Qudra mengimbau “setiap hati nurani” untuk mengizinkan pembukaan penyeberangan Rafah di tengah krisis kemanusiaan yang sangat dahsyat. Dia mengatakan, bantuan medis yang masuk ke Gaza selama gencatan senjata hanya cukup untuk satu hari.
“Sektor kesehatan di Gaza tidak dapat berfungsi dalam segala hal,” kata al-Qudra dalam sebuah pernyataan, dilaporkan Aljazirah.
Al-Qudra mengatakan, hanya tiga rumah sakit yang berfungsi di Gaza dan tidak memiliki fasilitas untuk menerima pasien dalam jumlah besar. Petugas medis berjuang untuk membantu pasien yang menumpuk di lantai rumah sakit di tengah kekurangan tempat tidur.
Penerbangan internasional telah mendarat di bandara El Arish di Sinai untuk mengirimkan kargo bantuan. Konvoi truk juga membawa bantuan dari Kairo. Berdasarkan sistem yang berlaku sejak 21 Oktober, truk bantuan harus melakukan pemeriksaan ke penyeberangan Al-Awja dan Nitzana di perbatasan Mesir dengan Israel sebelum kembali ke Rafah untuk mengirimkan kargo mereka.
Perjalanan pulang pergi tersebut menempuh jarak sejauh lebih dari 80 kilometer (50 mil). Pekerja bantuan dan pejabat Mesir mengatakan, pemeriksaan ini menyebabkan kemacetan. Pengemudi truk Mesir mengatakan mereka mengalami penundaan yang lama saat menunggu inspeksi dan pemindaian barang yang diawasi oleh personel keamanan Israel di Al-Awja.
“Semua hambatan ada karena mereka yang mengendalikan pergerakan barang,” kata Gameel Mahmoud Idrees, seorang pengemudi yang menunggu di dekat penyeberangan Rafah dengan membawa muatan makanan, yang merupakan pengiriman bantuan kedua sejak perang dimulai.
“Kami masuk ke perlintasan dan menunggu empat atau lima hari hingga pemeriksaan selesai,” ujar Idrees.
PBB telah melobi Israel untuk membuka penyeberangan Karem Abu Salem (Kerem Shalom) dekat Rafah yang menangani barang dalam jumlah besar sebelum perang. Namun Israel, yang khawatir bantuan tersebut akan digunakan oleh Hamas, menolak permintaan itu.
Gencatan senjata tersebut memungkinkan sekitar 200 truk bantuan memasuki Gaza setiap hari, atau lebih dari dua kali lipat rata-rata sebelumnya. Jumlah ini masih kurang dibandingkan dengan 500 truk yang masuk setiap hari sebelum perang.
Sebelum gencatan senjata, pengemudi truk Mesir sedang melakukan bongkar muat di Rafah. Barang-barang dimuat ke truk lain untuk didistribusikan ke Gaza, dan pengiriman terkadang terganggu oleh kekurangan bahan bakar atau pengeboman.
Selama gencatan senjata, beberapa truk melaju dari wilayah Mesir langsung menuju Gaza. Idrees mengatakan, ketika pertempuran kembali terjadi, dia bisa terjebak di perbatasan selama seminggu.
“Kami menunggu sampai mendapat izin keamanan karena ada sekitar 350 truk di dalam (di Al-Awja), dan harus diselesaikan dulu,” kata Idrees.