REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Upaya genosida yang dilakukan Israel terhadap masyarakat Palestina diperkirakan akan memperlambat perekonomian dunia. Banyak negara disebut akan mengalami resesi jika turut serta dalam konflik tersebut.
"Harga minyak telah meningkat sekitar lima dolar per barel sejak dimulainya konflik pada 7 Oktober, dan menurut IMF, kenaikan harga minyak sebesar 10 persen dapat membebani pertumbuhan global sebesar 0,15 poin," tulis laporan Investing.com yang dilansir Republika pada Ahad (3/12/2023).
Zionis Israel memiliki cadangan devisa lebih dari 200 miliar dolar AS dan mendapatkan bantuan militer senilai miliaran dolar dari Amerika Serikat (AS).
Perekonomian Israel telah tumbuh dengan pesat sejak krisis keuangan global pada 2008-2009 yang mana PDB Israel melampaui 500 miliar dolar AS pada 2022. Selain itu, negara ini memiliki posisi kreditor eksternal bersih yang melebihi 30 persen PDB.
Namun, menurut perkiraan baru bank sentral Israel, perang dengan Hamas akan merugikan negara sekitar 53 miliar dolar AS.
Bank sentral memperkirakan perang ini akan memberikan dampak sebesar tiga persen terhadap PDB Israel pada akhir tahun depan karena dunia usaha berjuang mengatasi kekurangan tenaga kerja dan permintaan konsumen yang masih lemah, menurut laporan Wall Street Journal.
Laporan Kementerian Tenaga Kerja baru-baru ini mengatakan lebih dari 760 ribu warga Israel, yang merupakan hampir 18 persen dari angkatan kerja, tidak bekerja karena perang. Sepertiga restoran di kota-kota besar Israel telah tutup sejak 7 Oktober karena kurangnya karyawan dan pelanggan.
"Kekurangan pekerja menyebabkan kerugian sebesar 600 juta dolar AS per minggu bagi perekonomian," tulis perkiraan bank sentral Israel.
Israel telah meminjam lebih dari 8 miliar dolar AS sejak dimulainya perang dengan pejuang Palestina yang menyebabkan defisit anggaran membengkak hingga 6 miliar dolar AS.
Sebelum 7 Oktober, Israel telah mengeluarkan izin kerja kepada sekitar 18.500 pekerja Gaza, dan tiga hari kemudian, Israel mencabut semua izin kerja yang mereka miliki sehingga menjadikan kehadiran mereka di Israel ilegal.
Menurut outlet berita The New Arab, ribuan pekerja ini kemudian ditangkap secara diam-diam dan ilegal oleh Israel dan dipindahkan ke pusat penahanan tanpa dasar hukum, dan Israel tidak mengungkapkan nama dan keberadaan mereka.
Selanjutnya, mereka membebaskan ribuan pekerja yang telah ditahan dan mengirim mereka kembali ke Gaza dengan berjalan kaki, tanpa harta benda mulai November.
Laporan Program Pembangunan PBB (UNDP) yang dirilis pada November mengungkapkan sekitar 390 ribu pekerjaan telah hilang sejak dimulainya perang.
Biro Statistik Pusat Palestina mengatakan tingkat kemiskinan di Jalur Gaza telah mencapai 53 persen, dan sepertiga penduduk Gaza (33,7 persen) hidup dalam kemiskinan yang parah.
Sekitar 64 persen rumah tangga di Gaza tidak memiliki cukup makanan, dan angka pengangguran mencapai 47 persen atau salah satu angka pengangguran tertinggi di dunia.
Laporan UNDP mengatakan setidaknya 45 persen persediaan perumahan di Gaza dilaporkan hancur atau rusak akibat pemboman Israel.
Hanya beberapa minggu setelah perang, tentara Israel mengeluarkan arahan baru yang melarang warga Palestina memetik buah zaitun di wilayah Tepi Barat sehingga membahayakan mata pencaharian dan swasembada. Padahal, Oktober dan November adalah bulan-bulan utama panen zaitun bagi tiga juta warga Palestina di Tepi Barat.
Koordinator Advokasi dan Komunikasi ActionAid Palestine, Riham Jafari, mengatakan sekitar 110 ribu petani mendapat keuntungan langsung dari panen zaitun dan 50 ribu orang lainnya memperoleh sebagian besar mata pencaharian dari bekerja dengan pohon dan hasil panen.
Riham menyampaikan musim panen zaitun biasanya merupakan saat yang sangat istimewa dan menyenangkan bagi warga Palestina, ketika keluarga dan teman berkumpul untuk memetik buah zaitun dan berbagi makanan.
"Namun tahun ini sangat berbeda. Para petani ditembak mati ketika sedang memanen tanaman, sementara pohon-pohon lainnya ditebang, dicabut, atau dibakar. Ini bukan sekadar serangan ekonomi, ini adalah serangan terhadap harga diri dan identitas nasional kita. sebagai warga Palestina," ucap Riham.
Warga Palestina dilaporkan memboikot produk-produk dari perusahaan-perusahaan Israel dan hampir 60 persen dari mereka telah berhenti bekerja di Tepi Barat.