Ahad 03 Dec 2023 14:27 WIB

Lebih dari 100 Pengungsi Rohingya Kembali Mendarat di Aceh

Kedatangan pengungsi Rohingya ini dilaporkan menghadapi penolakan lagi dari warga.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nidia Zuraya
Sebuah kapal yang membawa pengungsi Rohingya terdampar di pantai di Desa Meulee, Pulau Weh, Sabang, Aceh (2/12/2023).
Foto: EPA-EFE/HOTLI SIMANJUNTAK
Sebuah kapal yang membawa pengungsi Rohingya terdampar di pantai di Desa Meulee, Pulau Weh, Sabang, Aceh (2/12/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, ACEH – Lebih dari 100 pengungsi Rohingya kembali mendarat di Provinsi Aceh, tepatnya di pantai Le Meulee, Sabang, pada Sabtu (2/12/2023). Kehadiran mereka dilaporkan menghadapi penolakan lagi dari warga setempat.

“Mereka (para pengungsi Rohingya) kebanyakan perempuan dan anak-anak, dan kondisinya lemah,” kata Miftah Cut Ade, ketua komunitas nelayan Aceh, dikutip laman Aljazirah.

Baca Juga

Para pengungsi Rohingya tersebut berlayar dari Bangladesh pada awal November lalu. Seorang pengungsi bernama Deluarsah (19 tahun) mengatakan, mereka mengarungi lautan selama lebih dari 20 hari. “Kami datang ke sini dengan satu perahu. Lautan sangat berbahaya,” ucapnya.

Deluarsah mengaku senang dapat mendarat di Aceh. Kendati demikian, kehadiran para pengungsi Rohingya dilaporkan ditolak oleh warga setempat. Menurut Badan PBB untuk Pengungsi (UNHCR), sejak 14 November 2023, sudah terdapat 1.075 pengungsi Rohingya yang mendarat di Aceh.

Indonesia diketahui bukan merupakan negara penandatangan Konvensi PBB tentang Pengungsi tahun 1951. Hal itu membuat Indonesia tak memiliki kewajiban untuk menerima atau menampung pengungsi. Kendati demikian, beberapa organisasi hak asasi manusia (HAM) telah mendesak Indonesia agar membuka pintu bagi arus pengungsi Rohingya yang datang ke Aceh.

Lembaga pemantau hak-hak pengungsi Rohingya, Arakan Project, mengungkapkan, banyak pengungsi Rohingya yang merasa putus asa dengan kondisi tempat penampungan mereka di Cox’s Bazar, Bangladesh. Hal itu yang mendorong mereka untuk melakukan perjalanan ke Malaysia atau Indonesia.

Pada Agustus 2017, lebih dari 700 ribu Rohingya melarikan diri dari Negara Bagian Rakhine, Myanmar, dan mengungsi ke Bangladesh. Hal itu terjadi setelah militer Myanmar melakukan operasi brutal untuk menangkap gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). Warga sipil ikut menjadi korban dalam operasi tersebut. Selain membakar permukiman, militer Myanmar dilaporkan turut memperkosa perempuan-perempuan Rohingya dan membantai para lelaki dari etnis tersebut.

Masifnya arus pengungsi ke wilayah perbatasan Bangladesh segera memicu krisis kemanusiaan. Para pengungsi Rohingya terpaksa harus tinggal di tenda atau kamp dan menggantungkan hidup pada bantuan internasional. 

Bangladesh telah mulai memindahkan ribuan pengungsi Rohingya ke sebuah pulau terpencil bernama Bhasan Char di Teluk Benggala. Bangladesh mengklaim relokasi pengungsi Rohingya ke Bhasan Char dilakukan secara sukarela dan tanpa paksaan. Klaim itu muncul karena adanya dugaan bahwa proses relokasi pengungsi dilakukan secara paksa.

Bangladesh pun meyakinkan bahwa Bhasan Char aman serta layak ditinggali. Fasilitas seperti perumahan dan rumah sakit tengah dibangun di sana. Menurut Bangladesh, kamp-kamp pengungsi yang kian padat di Cox's Bazar telah memicu aksi kejahatan, termasuk kekerasan. Hal itu turut menjadi alasan mengapa sebagian pengungsi Rohingya ingin direlokasi.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement