Rabu 06 Dec 2023 17:28 WIB

Malala Samakan Perlakuan Taliban pada Perempuan dengan Apartheid

Pembatasan yang diberlakukan Taliban terhadap perempuan sama dengan apartheid.

Rep: Lintar Satria/ Red: Esthi Maharani
Peraih hadiah Nobel Perdamaian Malala Yousafzai menyamakan pembatasan yang diberlakukan Taliban terhadap perempuan dengan sistem apartheid
Foto: EPA-EFE/Antonio Lacerda
Peraih hadiah Nobel Perdamaian Malala Yousafzai menyamakan pembatasan yang diberlakukan Taliban terhadap perempuan dengan sistem apartheid

REPUBLIKA.CO.ID, JOHANNESBURG -- Peraih hadiah Nobel Perdamaian, Malala Yousafzai, menyamakan pembatasan yang diberlakukan Taliban terhadap perempuan dengan sistem apartheid di Afrika Selatan (Afsel). Hal ini ia sampaikan dalam pidato yang digelar yayasan Nelson Mandela.

Pada usia 15 tahun Malala selamat dari penembakan yang dilakukan Taliban di Pakistan. Setelah ia menggelar kampanye yang menolak gerakan Taliban melarang pendidikan untuk anak perempuan.

Baca Juga

Sejak memenangkan hadiah Nobel pada 2014 lalu, Malala yang kini 26 tahun menjadi simbol perjuangan perempuan melawan penindasan di seluruh dunia.

"Bila Anda seorang anak perempuan di Afghanistan, Taliban akan memutuskan masa depan Anda, Anda tidak bisa melanjutkan pendidikan menengah atas atau universitas, Anda tidak bisa menemukan perpustakaan di mana Anda bisa membaca, Anda melihat ibu dan kakak perempuan anda dibatasi dan dikurung," katanya di Pidato Tahunan Nelson Mandela ke-21 di Johannesburg, Rabu (6/12/2023).

Malala mengatakan tindakan Taliban harus dianggap "apartheid gender" dan pada dasarnya membuat "masa remaja perempuan menjadi ilegal". Ia mengatakan, aktor-aktor intenasional tidak boleh menormalisasi hubungan dengan Taliban yang merebut kekuasaan di Afghanistan pada 2021 lalu usai Amerika Serikat (AS) menarik pasukannya dari sana setelah 21 tahun.

Juru bicara Taliban belum menanggapi permintaan komenter mengenai pernyataan Malala. Sejak berkuasa Taliban melarang perempuan bekerja di lembaga kemanusiaan, menutup salon perempuan, melarang perempuan mengunjungi taman dan mewajibkan perempuan ditemani muhrimnya saat keluar rumah.

Taliban mengatakan mereka menghormati hak-hak perempuan sesuai dengan interpretasi mereka tentang hukum Islam dan adat Afghanistan. Pemerintah Taliban juga mengaku berencana membuka kembali sekolah menengah atas untuk perempuan, tapi setelah 18 bulan mereka belum juga mengungkapkan kerangka waktunya.

Dalam wawancara seusai pidato, Malala mengatakan ia khawatir Taliban akan menjauhkan ilmu pengetahuan dan cara berpikir kritis bahkan terhadap anak laki-laki.

"Jadi, sangat penting bagi masyarakat internasional tidak hanya untuk meningkatkan perlindungan pada akses anak perempuan pada pendidikan tapi juga memastikan pendidikan yang berkualitas, bukan indoktrinasi," ujarnya.

Mengenai perang di Gaza, ia mengatakan ia ingin melihat gencatan senjata segera dilakukan agar anak-anak dapat kembali ke bersekolah dan menjalani kehidupan normal mereka.

"Kami melihat perang, terutama pengeboman yang terjadi di Gaza, yang baru saja merenggut kehidupan normal dari anak-anak," katanya. 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement