REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Praktik berbahaya Female Genital Mutilation/Cutting (FGMC) atau yang umum dikenal dengan istilah sunat perempuan hingga kini masih dilakukan oleh keluarga di beberapa daerah. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2013 menunjukkan secara nasional, persentase anak perempuan yang pernah disunat sangat tinggi, mencapai 51,2 persen.
Asisten Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak katas Pengasuhan dan Lingkungan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Rohika Kurniadi Sari menyebutkan pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mencabut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1636 Tahun 2010 yang mengatur tentang Sunat Perempuan. KemenPPPA mendorong gerakan Pencegahan dan Penghapusan Pemotongan/Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP) terus disosialisasikan.
"Sunat pada perempuan atau anak perempuan dengan pemotongan adalah praktik berbahaya bentuk pelanggaran hak perempuan dan anak, dan termasuk kekerasan berbasis gender," kata Rohika dalam keterangannya pada Rabu (6/12/2023).
Rohika menyebut pendekatan baru perlu dipikirkan untuk mengatasi praktik sunat perempuan yang masih banyak terjadi. Jika selama ini pendekatan yang dilakukan adalah dari perspektif agama dan kesehatan, maka ke depan pendekatan yang dilakukan akan melihat dari perspektif anak dan remaja serta perspektif tokoh adat atau budayawan.
"Mereka akan aktif dilibatkan untuk bersinergi bersama dalam upaya advokasi dan sosialisasi pencegahan," ujar Rohika.
"Praktik sunat perempuan masih terjadi hingga kini, sehingga kita butuh terobosan, langkah pendekatan baru," ujar Rohika.
Selain itu, Rohika mengamati pencegahan dan penghapusan praktik sunat perempuan menghadapi hambatan dalam perjalanannya. Dari sisi agama, ada yang menyebut praktik sunat perempuan dipercaya dapat memuliakan perempuan (makrumah), walaupun secara medis jelas tidak ada manfaatnya untuk perempuan.
Dokter spesialis obgyn, Muhammad Fadli, menyebut tidak seperti pada laki-laki bahwa sunat amat dibutuhkan untuk kebersihandiri, pada perempuan sunat justru tidak diperlukan. Ia mengingatkan anatomi kelamin laki-laki berbeda dengan anatomi kelamin perempuan.
Dia mengatakan, pada laki-laki menghilangkan preputium ataupun kulit yang menutupi kelamin yang dapat menghambat saluran berkemih dan menyisakan urine di kulit sehingga berpotensi besar menyebabkan infeksi saluran kemih. "Sebaliknya, kelamin perempuan tidak tertutupi oleh preputium atau sudah terbuka sejak lahir sehingga saluran kemih tidak terhambat dan membersihkannya lebih mudah. Perlukaan seperti sunat pada perempuan justru akan mengakibatkan masalah medis baru seperti nyeri hebat, hingga pendarahan terutama bagian klitoris," ujar Fadli.