REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Amnesty International telah menemukan bukti bahwa militer Israel menggunakan amunisi berpemandu presisi buatan Amerika Serikat (AS) dalam dua serangan udara di Gaza pada Oktober. Serangan tersebut membunuh 43 warga sipil di rumah mereka.
“Fakta bahwa amunisi buatan AS digunakan oleh militer Israel dalam serangan melanggar hukum dengan konsekuensi mematikan bagi warga sipil harus menjadi peringatan mendesak bagi pemerintahan Biden,” kata sekretaris jenderal Amnesty International Agnes Callamard.
Penemuan pecahan senjata di reruntuhan rumah terjadi ketika penyelidikan terpisah mengungkap, bahwa AS telah mengirimkan pesanan rudal berpemandu presisi ke Israel sejak 7 Oktober. Lembaga Women for Weapons Trade Transparency (W2T2) mengutip sumber Departemen Luar Negeri, bahwa para pejabat AS telah menerapkan bagian dari Undang-Undang Otorisasi Pertahanan Nasional 2021 untuk mengizinkan transfer rudal.
W2T2 telah meminta AS untuk segera menghentikan pengiriman rudal berpemandu presisi ke Israel. Sedangkan Amnesty International menyerukan agar serangan tersebut diselidiki sebagai kejahatan perang.
Anggota dewan pendiri W2T2 dan peneliti di Pusat Kebijakan Internasional Lillian Mauldin mengatakan, anggota parlemen AS harus menekan Departemen Luar Negeri agar lebih memahami amunisi yang telah dikirim dan otoritas yang menerima.
“Kondisi seperti kepatuhan terhadap ketentuan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-Undang Kontrol Ekspor Senjata dan kepatuhan terhadap hukum kemanusiaan internasional harus ditempatkan pada bantuan keamanan ke Israel,” kata Mauldin dikutip dari Middle East Eye.
Amnesty mengatakan, dua serangan udara menghantam rumah-rumah yang dipenuhi warga sipil. Para penyelidik mengumpulkan rincian dari citra satelit, pecahan yang ditemukan di reruntuhan, dan wawancara dengan anggota keluarga yang selamat.
Lembaga itu menjelaskan, pihaknya tidak menemukan bukti adanya sasaran atau target militer di salah satu lokasi tersebut. Hasil ini meningkatkan kekhawatiran bahwa tindakan itu tersebut merupakan serangan langsung terhadap warga sipil atau objek sipil.
“Bahkan jika terdapat sasaran militer yang sah di sekitar bangunan yang terkena serangan, serangan ini gagal membedakan antara sasaran militer dan sasaran sipil. Serangan tanpa pandang bulu yang membunuh atau melukai warga sipil merupakan kejahatan perang," kata Amnesty International.
Serangan pertama terjadi pada 10 Oktober malam, ketika serangan udara Israel menghantam kediaman Al-Najjar di Deir al-Balah, sebuah kota di Gaza tengah. Serangan itu membunuh 21 anggota keluarga dan tiga tetangganya.
Suleiman Salman Al-Najjar yang merupakan penjual mobil dan pemilik bengkel, kehilangan istrinya, Susanne, dan empat anaknya, Farah, Nadim, Yazan, dan putrinya yang berusia 17 bulan, Safa. Peristiwa itu terjadi ketika Najjar sedang pulang ke rumah setelah menerima perawatan di rumah sakit karena masalah ginjalnya.
Pria berusia 48 tahun ini mendengar ledakan dan segera mengetahui rumahnya telah dibom. "Saya bergegas pulang dan melihat pemandangan yang hancur total. Saya tidak dapat mempercayai mata saya. Semua orang berada di bawah reruntuhan. Rumah itu hancur lebur. Mayat-mayat hancur berkeping-keping," katanya kepada Amnesty International.
“Hanya jenazah anak saya Nadim yang ditemukan utuh. Bayi perempuanku, Safa, kami hanya menemukan tangannya," ujar AlNajjar.
Al Najjar kini tinggal bersama dua putranya yang masih hidup di tenda dekat reruntuhan rumahnya. "Hidup kami hancur dalam sekejap. Keluarga kami hancur. Sesuatu yang tidak terpikirkan kini menjadi kenyataan," katanya.
Serangan kedua terjadi pada 22 Oktober sekitar tengah hari. Serangan udara Israel menghantam tiga rumah di utara Deir al-Balah milik keluarga Abu Mu'eileq, menewaskan 18 anggota keluarga dan tetangganya.
Bakir Abu Mu'eileq, seorang spesialis telinga, hidung dan tenggorokan, kehilangan istrinya, Islam dan empat anak mereka, Do'a, Ghanem, Mohamed, dan Lama. Padahal, keluarganya itu sangat tidak terlibat urusan politik.
“Kami adalah dokter dan ilmuwan, dan fokus kami adalah menjalani kehidupan yang baik dan membangun masa depan yang baik bagi anak-anak kami. Kami tidak mengerti mengapa rumah kami dibom," ujar Abu Mu'eileq.
Menurut Amnesty International, tanda-tanda khas pada pecahan yang ditemukan di kedua lokasi tersebut menunjukkan sama. Pecahan tersebut merupakan bagian dari kerangka yang mengelilingi badan bom Joint Direct Attack Munition (JDAM), sebuah peralatan yang dapat mengubah bom "jatuh bebas" menjadi rudal berpemandu presisi.
Pada potongan yang ditemukan, penyelidikan menemukan kode yang menurut Amnesty International terkait dengan pabrikan Boeing yang berbasis di AS. Pentagon mengatakan bahwa laporan ini sedang ditinjau.
“Kami akan terus berkonsultasi erat dengan mitra Israel kami mengenai pentingnya mempertimbangkan keselamatan warga sipil dalam melakukan operasi mereka,” kata Sekretaris Pers Pentagon Brigadir Jenderal Pat Ryder.
W2T2 mengatakan Rudal berpemandu recision, seperti yang dikutip dalam laporan Amnesty International telah menjadi senjata pilihan Israel dalam serangan terbarunya di Gaza. Sebanyak 90 persen senjata yang digunakan militer Israel dalam dua minggu pertama setelah 7 Oktober adalah bom yang dipandu satelit dengan berat antara 400 hingga 900 kg.
Selain serangan yang menjadi fokus Amnesty International, para ahli senjata meyakini Israel menyerang kamp pengungsi Jabalia yang padat penduduk pada 31 Oktober dan 1 November dengan menggunakan rudal berpemandu presisi. Dalam serangan ini membunuh sedikitnya 195 orang.
Mengutip sumber Departemen Luar Negeri, W2T2 melaporkan, para pejabat AS telah terburu-buru melakukan transfer rudal dalam dua bulan terakhir. Tindakan ini menggunakan Undang-Undang Otorisasi Pertahanan Nasional 2021.
Pasal 1275 aturan tersebut mengizinkan pemindahan rudal tanpa batas dari persediaan AS ke Israel tanpa pemberitahuan Kongres jika terjadi keadaan darurat. Menurut W2T2, Gedung Putih telah menggunakan pembenaran darurat untuk mengabaikan pemberitahuan dan tinjauan Kongres sejauh ini. Tindakan ini sangat mungkin bahwa pembenaran darurat juga digunakan dalam proses ini untuk tujuan yang sama.
Sedangkan Kementerian Pertahanan Israel menyatakan pada Rabu (6/12/2023), AS telah memasok Israel dengan lebih dari 10 ribu ton peralatan militer sejak dimulainya perang Gaza pada 7 Oktober. Pesawat kargo AS pertama tiba di Israel pada 11 Oktober.
“Sejak itu, lebih dari 10 ribu ton peralatan militer telah dikirim ke Israel sejak awal perang,” kata Kementerian Pertahanan Israel dikutip dari Anadolu Agency.
Sedangkan pesawat kargo ke-200 yang membawa peralatan militer untuk tentara telah tiba di Israel pada Rabu. Peralatan yang baru diterima tersebut mencakup kendaraan lapis baja, persenjataan, alat pelindung diri, pasokan medis, amunisi, dan banyak lagi. Pasokan-pasokan seperti itu digunakan Israel dalam melakukan serangan militernya di Jalur Gaza.