REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Putra menteri kabinet Israel dan mantan panglima militer, Gadi Eizenkot, tewas dalam pertempuran di Jalur Gaza. Militer Israel tidak memberikan perincian pasti tentang kematian Gal Meir Eizenkot, (25 tahun), selain mengatakan dia tewas dalam pertempuran di Gaza utara.
“Bersama seluruh Israel, saya menyampaikan dukungan saya kepada Gadi dan seluruh keluarganya, serta pelukan erat. Kami semua berkomitmen untuk terus berjuang demi tujuan suci kematian Gal,” kata pemimpin Partai Persatuan Nasional, Benny Gantz dalam sebuah pernyataan, Kamis (7/12/2023).
Eizenkot dan Gantz, yang juga mantan panglima militer, bergabung dengan pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu tidak lama setelah serangan mengejutkan Hamas pada 7 Oktober yang memicu serangan udara, darat, dan laut Israel di Jalur Gaza Palestina. Dalam pesan belasungkawa, Netanyahu mengatakan dia sangat sedih atas kematian Gal di medan perang.
Israel terus melakukan pengeboman dan bersumpah untuk memusnahkan kelompok perlawanan Palestina Hamas di Gaza. Lebih dari 17.000 warga Palestina telah terbunuh di Gaza sejak 7 Oktober. Sementara sekitar 1,9 juta orang, atau 85 persen dari populasi telah mengungsi.
Netanyahu mengatakan, Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas tidak akan memerintah Jalur Gaza selama Netanyahu menjabat sebagai perdana menteri. Sky News melaporkan, sumber-sumber Palestina mengatakan bahwa, Abbas telah mengkonfirmasi kesiapan Otoritas Palestina untuk mengambil alih pemerintahan Gaza dan Tepi Barat setelah berakhirnya perang Israel di daerah kantong tersebut.
“Selama saya menjadi perdana menteri Israel, hal ini tidak akan terjadi," ujar Netanyahu menanggapi laporan Sky News.
"Mereka yang membesarkan anak-anak mereka dengan terorisme, mendanai terorisme, dan mendukung keluarga teroris tidak akan bisa memerintah Gaza setelah Hamas dilenyapkan,” ujar Netanyahu.
Pada Selasa (5/12/2023) malam, Netanyahu mengatakan, Gaza harus didemiliterisasi setelah perang berakhir. Dia menambahkan, satu-satunya kekuatan yang bertanggung jawab atas hal tersebut adalah tentara Israel, dan tidak ada pengaturan lain yang dapat diterima.
Netanyahu mengeklaim tidak akan mengulangi kesalahan yang dilakukan berdasarkan Perjanjian Oslo. “Merupakan kesalahan besar untuk mengembalikan hal yang paling bermusuhan di dunia Arab dan Palestina ke pusat Tanah Israel,” katanya.
Netanyahu menyebut kepergian awal Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) ke Tunisia, sebagai keputusan paling tepat. Netanyahu mengklaim, kesalahan besar adalah mengizinkan organisasi tersebut kembali pada 1994 melalui Otoritas Palestina, berdasarkan Perjanjian Oslo pada 1993.
Netanyahu menekankan perlunya Israel memiliki kendali keamanan atas seluruh Jalur Gaza untuk memastikan bahwa entitas teroris tidak muncul pada tahun-tahun mendatang.
Pernyataan Netanyahu bertentangan dengan posisi Amerika Serikat (AS) yang berulang kali mengatakan bahwa Otoritas Palestina harus kembali ke Gaza. Presiden AS Joe Biden dan Menteri Luar Negeri Antony Blinken telah berulang kali menekankan agar Otoritas Palestina kembali memerintah Jalur Gaza setelah perang Israel berakhir.
Usulan Amerika dan Israel didasarkan pada asumsi bahwa perang genosida yang diumumkan di Jalur Gaza akan melenyapkan Hamas, pada saat tentara Israel menderita kerugian besar di Gaza.