REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus pembunuhan empat anak di Jagakarsa, Jakarta Selatan, yang diduga dilakukan oleh ayahnya sendiri menggegerkan publik. Sebelum menghabisi nyawa keempat anaknya, sang ayah berinisial P, lebih dulu melakukan kekerasan terhadap sang istri. Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) jika terus menerus dibiarkan, tidak hanya dapat menyakiti pasangan, tetapi juga membahayakan buah hati.
Hal ini juga jadi pengingat bahwa masyarakat perlu lebih sadar terhadap KDRT dan korban harus berani melapor. Apa yang sebaiknya dilakukan korban KDRT?
Komnas Perempuan menganjurkan, baik korban kekerasan atau pendamping, keluarga, komunitas, maupun pihak yang mengetahui adanya tindak kekerasan, dapat melaporkan kasus tersebut ke polisi, perangkat desa (RT/RW) setempat. Atau ke pengada layanan seperti yang disediakan Kementerian PPPA.
Jika sudah membuat laporan dan mendapatkan berkas laporan dengan nomor kepolisian, maka bisa mengadukan ke Komnas Perempuan untuk dibantu lebih jauh. Berikut langkah dan cara melapor terkait KDRT, seperti dikutip dari laman Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Jumat (8/12/2023):
1. Melapor ke layanan Sapa
Memang tidak mudah untuk keluar dari kungkungan pelaku KDRT yang biasanya disertai ancaman, apalagi jika kondisi keluarga hanya membiarkan aksi pelaku KDRT. Karena itulah dengan berani melapor, maka pertolongan dapat segera dilakukan, begitu pula upaya penyelamatan terhadap anak-anak korban.
KDRT bukan lagi urusan privat, tapi sudah menjadi urusan negara saat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) diundangkan. Kementerian PPPA memiliki hotline layanan Sahabat Perempuan dan Anak (Sapa) 129 atau Whatsapp 08-111-129-129 sehingga masyarakat yang melihat, mendengar dan mengetahui adanya tindak kekerasan di sekeliling mereka bisa melapor ke kontak layanan tersebut.
2. Melapor ke UPTD PPA
Selain Layanan Sapa 129 masyarakat ataupun korban juga dapat melapor ke Unit Pelaksana Teknis Daerah - Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat seperti P2TP2A, dan kepolisian. Pemerintah daerah yang belum memilki UPTD PPA didorong agar segera membentuk UPTD PPA karena lembaga layanan ini adalah bukti kehadiran negara ketika perempuan dan anak menjadi korban kekerasan.
3. Melapor ke polisi
Kepolisian dapat melakukan proses hukum pada pelaku KDRT. Pelaku KDRT bisa mendapatkan sanksi sesuai UU PKDRT sesuai Pasal 44 Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT dengan ancaman penjara lima tahun atau denda paling banyak 15 juta rupiah.
Mengingat posisi perempuan yang rentan menjadi korban kekerasan dalam ranah domestik maka baik perempuan, keluarga ataupun masyarakat di sekitar perlu mewaspadai hal-hal sebagai berikut, yaitu:
-Jika kekerasan yang dilakukan terjadi berulang dan membentuk sebuah siklus yaitu fase ketegangan (dimana komunikasi mulai memburuk) – terjadi kekerasan–fase rekonsiliasi (permintaan maaf dari pelaku)–fase tenang (korban sudah memaafkan dan berbaikan dengan pelaku). Hal ini perlu disadari oleh korban bahwa itu adalah KDRT sehingga tidak terjebak pada fase KDRT selanjutnya.
-Tidak menyalahkan diri sendiri karena KDRT bukan merupakan kesalahan diri sendiri.
-Mengumpulkan bukti yang dapat mendukung adanya peristiwa KDRT merupakan langkah penting jika terjadi kondisi yang semakin memburuk. Bukti-bukti yang dapat mendukung jika terjadi kekerasan fisik dapat berupa hasil pemeriksaan kesehatan (rekam medis), dan dokumentasi luka/memar akibat KDRT yang dialami.
-Menghubungi keluarga/kerabat yang dapat dipercaya atau mencari bantuan pada tempat yang tepat.
Sumber:Kementerian PPPA