REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat hukum dari Pusat Studi Kejahatan Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII) Ari Wibowo mendukung Kejaksaan Agung (Kejagung) yang terus memaksimalkan pemulihan aset dalam kasus korupsi. Hanya saja, upaya ini dinilai terkendala penelusuran aset koruptor.
Dalam langkah hukumnya, Kejagung memang tidak hanya mengejar hukuman penjara pelaku korupsi. Kejagung juga mengejar sebanyak-banyaknya pengembalian kerugian uang negara.
"Problem Kejaksaan sering kali mengalami kendala dalam melakukan penelusuran aset terpidana (asset tracing) sehingga tidak dapat dilakukan penyitaan," kata Ari kepada Republika sebagaimana dikutip pada Jumat (8/12/2023).
Masalah ini menurut Ari membuat upaya pengembalian aset negara belum efektif. Ari merujuk catatan Indonesian Corruption Watch (ICW) dimana tidak banyak kerugian negara yang berhasil dipulihkan. Tahun 2021, kerugian keuangan negara yang ditimbulkan dari tindak pidana korupsi mencapai Rp 62,9 triliun akan tetapi pidana uang pengganti yang dijatuhkan pengadilan hanya 1,4 triliun atau sekitar 2,2 persen.
"Itu saja tidak semua uang pengganti tersebut dibayarkan," ujar Ari.
Selain pidana uang pengganti, pemulihan aset dilakukan melalui perampasan aset. Namun menurut Ari upaya ini belum maksimal. Contohnya di kasus PT Asuransi Jiwasraya dimana berdasarkan penghitungan BPK, kerugian negara yang ditimbulkan lebih dari Rp 16 triliun. Tapi sampai Januari 2023, aset yang berhasil dipulihkan baru sekitar Rp 3 triliun.
"Untuk aset yang berada di dalam negeri saja, pemulihannya masih sangat minim apalagi aset yang disimpan di luar negeri, sampai sekarang belum ada success story-nya," ujar Ari.
Atas masalah ini, Ari memandang keberadaan UU Perampasan Aset dapat menjadi solusi. Oleh karena itu, Ari mendorong agar UU tersebut disahkan dalam waktu dekat ini.
"DPR perlu terus didorong untuk segera melakukan pembahasan dan pengesahan RUU Perampasan Aset yang sudah dikirim Presiden sejak Mei 2023 lalu," ujar Ari.