Senin 11 Dec 2023 07:53 WIB

Musim Dingin 2024 akan Lebih Hangat Dampak dari Perubahan Iklim

Suhu global melonjak jauh di atas rata-rata 1991-2020 dengan selisih yang signifikan.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Muncul kekhawatiran akan kemungkinan terjadinya musim dingin yang sangat panas yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Foto: www.pixabay.com
Muncul kekhawatiran akan kemungkinan terjadinya musim dingin yang sangat panas yang belum pernah terjadi sebelumnya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketika gelombang panas yang menyengat mendominasi dunia sepanjang musim panas dan musim gugur tahun 2023, muncul kekhawatiran akan kemungkinan terjadinya musim dingin yang sangat panas yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sekarang, para peneliti memperingatkan bahwa dunia bisa mengalami suhu yang memecahkan rekor pada musim dingin ini.

Selama bulan Juni hingga Oktober 2023, suhu global melonjak jauh di atas rata-rata tahun 1991-2020 dengan selisih yang signifikan. Bulan Agustus dan September, khususnya, melebihi rata-rata historis masing-masing sebesar 0,62 derajat Celcius dan 0,69 derajat Celcius, memecahkan rekor yang ditetapkan pada tahun 2016. Tren yang mengkhawatirkan ini, yang dipicu oleh pemanasan global dan kemunculan kembali fenomena El Nino setelah tujuh tahun, telah menarik perhatian dunia.

Baca Juga

Untuk menilai dampak potensial dari perkembangan ini, tim prediksi iklim jangka pendek di Atmospheric Physics, Chinese Academy of Sciences, melakukan penelitian ekstensif. Temuan terbaru mereka menunjukkan bahwa El Nino Pasifik Timur akan segera terjadi, dikategorikan sebagai moderat hingga kuat, yang diperkirakan akan memicu pola cuaca yang tidak biasa di seluruh Asia Timur dan Amerika Utara.

Laporan ini menyoroti pengaruh gabungan dari peristiwa El Nino dan tren pemanasan global yang sedang berlangsung, memberikan gambaran yang memprihatinkan untuk musim dingin 2023/24.

"95 persen kemungkinannya musim dingin ini akan memecahkan rekor suhu historis secara global, dengan wilayah-wilayah di garis lintang menengah-rendah di Eurasia dan sebagian besar wilayah Amerika akan menghadapi musim dingin yang sangat hangat,” kata para peneliti seperti dilansir Study Finds, Senin (11/12/2023).

Memahami prediksi iklim tidak hanya mempertimbangkan variabilitas internal, tetapi juga faktor eksternal. Penelitian terbaru menunjukkan dampak dari kekuatan eksternal seperti kebakaran hutan di Australia pada tahun 2019, yang berperan dalam memicu La Nina selama beberapa tahun. Kebakaran hutan ini menciptakan awan rendah di atas Samudra Selatan, menurunkan suhu permukaan laut dan memengaruhi sistem iklim.

Selain itu, data historis tentang letusan gunung merapi di Belahan Bumi Selatan, seperti yang dipelajari oleh tim peneliti gunung merapi di Sun Yat-sen University, menunjukkan korelasi antara letusan dan kejadian La Nina berikutnya selama tiga tahun. Hal ini menggarisbawahi potensi efek pendinginan dari aerosol gunung berapi di Samudra Selatan, mirip dengan pendinginan yang disebabkan oleh pembentukan awan yang disebabkan oleh kebakaran hutan.

“Saat dunia bersiap menghadapi musim dingin yang berpotensi memecahkan rekor, temuan ini menggarisbawahi interaksi yang kompleks antara berbagai faktor yang membentuk iklim dan perlunya penelitian lebih lanjut untuk lebih memahami dan mengantisipasi pola-pola ini,” kata peneliti yang menerbitkan temuannya dalam jurnal Advances in Atmospheric Sciences.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement