REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengungkapkan kekhawatiran terhadap peningkatan konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Menurut dia, konsumsi MBDK dapat mengancam kesehatan anak dan remaja Indonesia.
“Survei kami terbukti satu dari tiga anak mengonsumsi minuman berpemanis dalam kemasan dua sampai enam kali dalam seminggu,” kata dia saat konferensi pers, Senin (11/12/2023).
Ia menyampaikan, YLKI telah melakukan survei terhadap konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan yang dilakukan pada awal hingga pertengahan Juni 2023 di 10 kota. Yaitu Medan, Lampung, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Balikpapan, Makassar, dan Kupang.
“Total 800 responden, di setiap RT dijaring 10 responden, survei dilakukan dengan cara wawancara terhadap orang yang pernah mengonsumsi minuman berpemanis dalam kemasan dalam sebulan terakhir,” ujar dia.
Tulus menjelaskan mudahnya akses dan bisa dibeli dalam jarak 2-10 menit menjadi salah satu pemicu utama anak dan remaja banyak mengonsumsi minuman berpemanis dalam kemasan. “Sebesar 38 persen membeli di warung, 28 persen di minimarket, 17 persen di supermarket dan akses lainnya seperti fasilitas kesehatan, rumah sakit, dan fasilitas umum seperti sekolah sebesar 18 persen,” katanya.
Selain kemudahan akses, ia memerinci tiga faktor dan aspek lainnya yang menjadi pemicu. Pertama faktor rasa penasaran 32,4 persen, kedua faktor enak rasanya 27,1 persen, dan ketiga aspek harga 14,4 persen.
Aspek lainnya yaitu pemengaruh 6,4 persen, pengaruh anggota rumah tangga 5,8 persen, iklan di media massa 3,8 persen, aspek teman 3,6 persen, media sosial 3,4 persen, dan tetangga 3,3 persen.
“Maka dari itu, perlu regulasi yang mengatur pemasaran produk-produk berpemanis kepada anak-anak dan remaja dapat membantu mengurangi dampak pemasaran agresif,” ujar Tulus.