REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Bali menekankan pentingnya perbankan tetap melakukan prinsip kehati-hatian dalam menyalurkan dana masyarakat saat program restrukturisasi kredit berakhir. Restrukturisasi kredit ini dijadwalkan berakhir pada Maret 2024.
“Melakukan optimalisasi intermediasi dan tetap menerapkan prinsip kehati-hatian karena yang disalurkan dana masyarakat,” kata Kepala OJK Bali Kristrianti Puji Rahayu di Kabupaten Bangli, Bali, Senin (11/12/2023).
Berdasarkan data OJK Bali posisi September 2023, penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) perbankan di Pulau Dewata mencapai Rp 163,94 triliun atau tumbuh 22,42 persen jika dibandingkan periode sama 2022 mencapai Rp 133,91 triliun.
Peningkatan DPK itu salah satunya ditopang oleh kenaikan instrumen tabungan sebesar Rp 18,45 triliun dan giro sebesar Rp 6,84 triliun yang menunjukkan adanya pembelajaran terkait penyediaan dana darurat dan simpanan menghadapi kondisi tak terduga berkaca dari pengalaman pandemi COVID-19.
Sedangkan penyaluran kredit mencapai Rp 102,97 triliun atau tumbuh 5,11 persen dibandingkan September 2022 mencapai Rp 97,97 triliun. Tingginya perhimpunan DPK mendorong rasio kredit terhadap DPK (loan to deposit ratio/LDR) mencapai 62,81 persen.
Ia menilai DPK yang tumbuh tinggi itu mencerminkan kondisi ekonomi masyarakat Bali berangsur membaik.
Di sisi lain, dari sisi investasi di pasar modal, berdasarkan data OJK Bali pada Agustus 2023 jumlah investor saham mencapai 108.472 investor atau meningkat dibandingkan Agustus 2022 mencapai 89.123 investor. Investor reksa dana juga naik dari 166.454 investor pada Agustus 2022 menjadi 204.309 investor, investor SBN juga demikian yakni dari 15.697 investor menjadi 20.032 investor.
“Sektor yang paling tinggi itu sektor investasi artinya DPK naik, masyarakat Bali sudah punya spare (menyisihkan) uang dan pembelajaran, ketika investasi sebelumnya tidak utama, sekarang menjadi utama artinya masyarakat sudah melihat aktivitas bisnis, sudah kondusif sehingga melakukan ekspansi,” katanya.
Sementara itu, OJK mencatat restrukturisasi kredit terdampak COVID-19 di Bali terus melandai dari Rp45,80 triliun posisi Desember 2020 menjadi Rp20,94 triliun atau turun sebesar 54,28 persen pada September 2023.
Berdasarkan sektor ekonomi, restrukturisasi kredit COVID-19 di Bali didominasi sektor penyediaan akomodasi dan penyediaan makan minum sebesar 37,73 persen, perdagangan besar dan eceran, reparasi dan perawatan mobil dan sepeda motor sebesar 23,49 persen dan sektor rumah tangga sebesar 17,61 persen.
Di sisi lain, OJK juga meminta perbankan dan perusahaan pembiayaan membentuk pencadangan yang memadai untuk mengantisipasi berbagai ketidakpastian yang sumbernya dari perekonomian global ke depan.