REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan hasil survei kami terhadap 800 responden atau sebesar 58 persen masyarakat mendukung wacana pemerintah terhadap pengenaan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK).
"Kami melakukan survei di 10 kota besar di Indonesia, hasilnya mereka mendukung wacana tersebut dan sekitar 18 persen masyarakat akan mengurangi konsumsi MBDK jika terjadi kenaikan harga sebesar 25 persen," kata Tulus saat dikonfirmasi di Jakarta, Senin (11/12/2023).
Ia menyampaikan pemerintah harus segera menindaklanjuti penerapan cukai MBDK pada 2024 sebagai langkah untuk mengontrol pola konsumsi dan mencegah prevalensi diabetes pada anak dan remaja. Berdasarkan laporan Global Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang implementasi cukai MBDK yang baru dirilis bulan ini, sudah ada 108 negara di dunia yang memberlakukan cukai MBDK.
Tulus mengungkapkan dukungan publik terhadap wacana tersebut cukup signifikan. Pengenaan cukai sebagai instrumen pengendalian konsumsi MBDK cukup efektif dan penerapannya perlu tanpa pengecualian serta diberlakukan secara komprehensif.
"Pengenaan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan sudah sangat mendesak untuk melindungi konsumen Indonesia," ungkap Tulus.
Ia menegaskan pemerintah seharusnya tidak ambigu untuk mengenakan cukai MBDK sebagai bentuk kebijakan untuk melindungi masyarakat dari tingginya prevalensi penyakit tidak menular, khususnya diabetes melitus. "Pemerintah harusnya tidak bergeming dengan upaya intervensi oleh pihak industri karena pengenaan cukai tersebut tidak akan menggerus produk MBDK seperti di Meksiko dan Peru cukai tersebut tidak menimbulkan pengangguran," ucapnya.
Kementerian Keuangan mengusulkan produk minuman berpemanis dikenakan cukai Rp 1.500 per liter untuk teh kemasan. Untuk produk berkarbonasi akan dikenakan cukai sebesar Rp 2.500 per liter.
Untuk produk minuman berpemanis lainnya seperti minuman energi, kopi, konsentrat dan lainnya dikenakan cukai Rp 2.500 per liter. Total produksi minuman ini sebesar 808 juta liter dengan potensi penerimaan sebesar Rp 1,85 triliun. Sehingga total penerimaan negara diperkirakan mencapai Rp 6,25 triliun.
Namun, Kebijakan Pemerintah memungut cukai MBDK diundur ke 2024. Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Askolani menyebut tiga faktor utama penundaan tersebut. Pertama pemerintah masih menunggu ditetapkan dalam aturan turunan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) sehingga belum bisa dibahas dan dimasukkan ke RAPBN.
Kedua, pemerintah masih mempertimbangkan kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih akibat pandemi Covid-19. Ketiga, untuk menetapkan komoditas baru menjadi Barang Kena Cukai perlu koordinasi dan sosialisasi, hingga aturan yang matang sehingga tidak menimbulkan kontra di masyarakat dan pelaku usaha.