Selasa 12 Dec 2023 17:03 WIB

Apa Itu Resolusi 377A yang Jadi Alasan PBB Gelar Sidang Istimewa Darurat

Sore ini PBB menggelar sidang istimewa darurat.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nidia Zuraya
Sidang Majelis Umum PBB (ilustrasi).
Foto: ANTARA/HO-Kemlu RI
Sidang Majelis Umum PBB (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Mesir dan Mauritania pada Senin (11/12/2023) menggunakan Resolusi 377A (V) untuk menyerukan pertemuan darurat Majelis Umum PBB (UNGA) pada Selasa (12/12/2023). Resolusi 377A menyatakan, jika Dewan Keamanan PBB tidak mampu melaksanakan tanggung jawab utamanya dalam menjaga perdamaian global karena kurangnya suara bulat, maka Majelis Umum PBB dapat mengambil tindakan.

Namun usulan tersebut harus dipenuhi dan rekomendasi UNGA tidak mengikat secara hukum, sehingga resolusinya dapat diabaikan tanpa konsekuensi apa pun. Israel telah mengabaikan beberapa resolusi mengikat PBB di masa lalu, terutama berkat dukungan diplomatik dari Washington.

Baca Juga

Bagian A dari Resolusi 377A (V), juga dikenal sebagai “Bersatu untuk Perdamaian”. Resolusi ini bertujuan untuk menyelesaikan situasi ketika PBB gagal menjalankan tanggung jawab utamanya untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional, karena anggota Dewan Keamanan tidak dapat menemukan titik temu.

Dilaporkan Aljazirah, resolusi 377A memberi wewenang kepada Majelis Umum untuk menyelenggarakan pertemuan melalui sekretaris jenderal. Majelis ini dimaksudkan untuk membuat rekomendasi kepada para anggota mengenai tindakan kolektif, termasuk penggunaan kekuatan bersenjata bila diperlukan.

Setidaknya satu anggota Dewan Keamanan PBB atau sekelompok anggota Majelis Umum harus mendukung diadakannya resolusi tersebut agar dapat berlaku.

Gagasan untuk memberikan kewenangan tambahan kepada sekretaris jenderal untuk memecahkan kebuntuan diadopsi sebagai akibat dari Perang Korea pada 1950. Perang ini menyebabkan Korea Utara menginvasi Korea Selatan setelah terjadi permusuhan antara kedua negara selama bertahun-tahun.

Pada saat itu, negara bekas Uni Soviet menghalangi tekad Dewan Keamanan untuk menghentikan perang, sehingga resolusi 377 (V) disahkan pada 3 November 1950. Hal ini terjadi setelah Amerika Berhasil berhasil mendapatkan dukungan terhadap gagasan bahwa Majelis Umum perlu diberdayakan untuk meningkatkan kemampuannya dalam melindungi keamanan global.

Resolusi ini tidak digunakan secara luas. Resolusi ini pernah digunakan beberapa kali selama beberapa dekade untuk membantu menyelesaikan berbagai konflik, termasuk Krisis Kongo pada 1960, konflik antara India dan Pakistan pada 1971, dan pendudukan Soviet di Afghanistan pada 1980.

Elemen penting dari resolusi ini yaitu menegaskan bahwa Majelis Umum dapat merekomendasikan penggunaan kekerasan jika diperlukan. Oleh karena itu, resolusi tersebut hanya diterapkan satu kali saja yaitu pada krisis Korea.

Resolusi 377A digunakan untuk mengadakan sidang darurat Majelis Umum pada 1951 karena kurangnya konsensus di antara anggota Dewan Keamanan PBB. Hal ini berujung pada disahkannya Resolusi PBB 498 (V), yang menyatakan bahwa Cina terlibat secara militer dalam Perang Korea.

Ini adalah pertama kalinya PBB memperlakukan suatu negara sebagai agresor di tengah perang. Resolusi tersebut tidak secara eksplisit mengacu pada resolusi Uniting for Peace, namun justru menyalin teks yang menyatakan bahwa Dewan Kemanan PBB telah gagal melaksanakan tanggung jawab globalnya secara efektif karena perselisihan antar anggota.

Resolusi tersebut menyerukan seluruh negara dan pihak berwenang untuk terus memberikan bantuan kepada tindakan PBB di Korea, yaitu bantuan militer. Namun hal ini tidak menyebabkan pengerahan kekuatan oleh PBB, yang menyerukan penghentian permusuhan.

Fungsi Uniting for Peace ini berbeda dengan fungsi organisasi penjaga perdamaian, atau Pasukan Darurat PBB (UNEF), yang pertama kali didirikan pada 1956 untuk memantau garis depan antara Israel dan Mesir. UNEF tidak memiliki fungsi tempur dan dimaksudkan untuk menetralisir konflik hanya melalui kehadiran pasukannya.

Pasukan penjaga perdamaian PBB kini aktif di banyak negara, termasuk Lebanon. Pasukan penjaga perdamaian PBB memantau penghentian permusuhan dengan Israel dan memastikan bantuan kemanusiaan kepada warga sipil setelah beberapa konflik.

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres dapat diberikan wewenang untuk mengadakan sidang darurat Majelis Umum dalam waktu 24 jam jika ada seruan dari setidaknya satu anggota Dewan Keamanan atau sekelompok anggota Majelis Umum. Negara-negara anggota kemudian dapat membuat rekomendasi untuk tindakan kolektif, yaitu mengambil pilihan yang lebih ekstrim jika disepakati, termasuk tindakan militer.

Namun semua resolusi dan keputusan Majelis Umum hanya sebatas rekomendasi. Artinya resolusi-resolusi ini tidak mengikat secara hukum, berbeda dengan beberapa keputusan Dewan Keamanan. Terlepas dari itu, terdapat peningkatan diskusi, dan seruan di media sosial agar PBB menggunakan kekuatan ini.

Aksi mereka semakin meningkat setelah Guterres pada Rabu (6/12/2023) memutuskan menggunakan Pasal 99 Piagam PBB untuk secara resmi memperingatkan Dewan Keamanan bahwa perang Israel di Gaza kini menjadi ancaman global. Berbicara di Forum Doha pada Ahad (10/12/2023), Guterres mengatakan, dia tidak akan menyerah untuk menyerukan gencatan senjata kemanusiaan di Gaza meskipun Amerika Serikat memveto resolusi Dewan Keamanan PBB terkait gencatan senjata pada Jumat (8/12/2023).

“Saya mendesak Dewan Keamanan untuk menekan agar tidak terjadi bencana kemanusiaan, dan saya mengulangi seruan saya agar gencatan senjata kemanusiaan diumumkan. Sayangnya, Dewan Keamanan gagal melakukan hal ini, namun hal ini tidak membuat hal ini menjadi kurang penting,” kata Guterres.

Washington secara konsisten memveto setiap resolusi Dewan Keamanan yang menuntut gencatan senjata dan memberikan bantuan kemanusiaan dalam jumlah yang lebih besar kepada warga Palestina yang terkepung. Keputusan terbaru terjadi pada Jumat ketika 13 anggota Dewan Keamanan PBB yang tersisa dari 15 anggota saat ini memberikan suara mendukung resolusi yang disponsori oleh 100 negara lainnya. Sementara, Inggris abstain.

Hal ini kembali menyebabkan kebuntuan dalam upaya menghentikan serangan darat dan udara Israel yang telah membunuh hampir 18.000 warga Palestina sejak 7 Oktober. Di tengah meningkatnya kritik, dan demonstrasi yang terus terjadi di seluruh dunia, Washington menyatakan bahwa mereka menentang gencatan senjata karena akan memungkinkan Hamas untuk pulih dan terus menimbulkan ancaman keamanan bagi Israel.

Hamas dan kelompok perlawanan Palestina lainnya telah melancarkan pemberontakan bersenjata melawan pendudukan dan blokade Israel selama beberapa dekade. Israel juga terus membangun pemukiman ilegal di tanah Palestina yang menghambat terwujudnya negara Palestina di masa depan.

AS yakin intervensi politiknya akan lebih efektif dalam upaya memastikan bahwa Israel menghindari kematian warga sipil sambil melakukan yang terbaik untuk menjamin pembebasan tawanan yang ditahan Hamas di Gaza. Namun Israel tampaknya tidak mengindahkan nasihat AS mengenai perlindungan warga sipil Palestina. Karena lebih dari 80 persen korban pengeboman Israel di Gaza adalah warga sipil. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement