REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) menyatakan bahwa lingkungan keluarga dan sekolah berperan penting dalam membangun kesehatan mental anak-anak.
"Bagaimana seorang anak itu mempunyai daya lenting yang kuat," ujar Asisten Deputi Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Kemenko PMK Nancy Dian Anggraeni dalam Semiloka Darurat Kesehatan Mental Masyarakat di Jakarta, Selasa (12/12/2023).
Nancy mengatakan, anak yang hidup dalam kondisi lingkungan yang harmonis akan dapat menyikapi trauma dan stresnya dengan baik. Seorang anak yang daya lentingnya kuat, bisa mengelola kondisi psikologis sehingga mengurangi tingkat stres atau depresinya.
Menurutnya, keluarga dan sekolah sebagai institusi pembentuk karakter dan mental anak harus memegang peranan paling banyak dalam membentuk diri anak-anak. Namun beberapa kasus yang terjadi saat ini, malah menunjukkan kondisi sebaliknya. Keluarga dan sekolah malah turut menyumbang situasi yang sebetulnya tak boleh dialami anak-anak.
"Setahu saya, sudah ada beberapa program yang sudah menganjurkan untuk membangun self resilience itu. Cuma implementasinya itu seperti masih belum. Kayaknya guru-guru kita perlu untuk dilatih," kata dia.
Psikolog dari Universitas Indonesia Tri Iswandari menekankan bahwa sekolah harus menjadi ruang yang aman, nyaman, dan sehat bagi anak-anak. Guru-guru semestinya harus bertindak preventif dalam pencegahan perundungan, terutama di sekolah.
Pasalnya, apabila anak-anak yang pernah mengalami perundungan dalam hidupnya, maka ia berpotensi menjadi perundung bagi siswa lainnya. "Kalau ada anak yang terus-terusan begitu (merundung), ini kalau dilepas terus tidak ditangani, maka bakal menular ke mana-mana. Seperti bully, orang yang bully itu biasanya dia korban bully dulunya. Tanpa dia sadar, dia menciptakan satu pola yang dia jadi mem-bully," kata Tri.
Sementara bagi orang tua, penting mengajarkan anak tentang mengelola amarah dan emosi. Anak harus diberi pemahaman tentang pelampiasan emosi positif. Artinya, anak-anak perlu secara sadar maupun tidak, dapat mengeluarkan emosi dengan cara-cara yang tak merusak jiwa.
"Kan, enggak ada orang yang bebas dari stres, enggak ada orang yang bebas dari trauma, pasti ada. Tapi yang penting bagaimana dia meresponsnya. Orang punya emosi itu boleh dan valid, tetapi bagaimana mengekspresikannya yang bisa diterima oleh orang," katanya.
Di samping itu, kata dia, orang tua dan guru harus mengetahui mengenai trauma. Trauma bisa terjadi pada saat masa kecil, saat perkembangan anak yang diperlukan untuk tumbuh kembang tidak diberikan.
"Misalnya kehadiran ibu pada saat dia lagi sedih, ada masalah dengan teman. Harusnya orang tua ada untuk mendengarkan dan memahami perasaan anak. Tapi banyak orang tua yang emotionally absent," kata dia.