REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Alquran Al Karim memberikan petunjuk-petunjuk bagi manusia dalam memilih pemimpin yang terbaik. Dan seringkali Alquran menunjukkannya dengan kisah-kisah para nabi dan rasul. Wartawan Republika.co.id
Andrian Saputra mewawancarai pakar tafsir Alquran yang juga Ketua Prodi Ilmu Alquran dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, KH. Syahrullah Iskandar. Berikut kutipannya:
Bagaimana petunjuk Alquran dalam Memilih Pemimpin ?
Alquran banyak menjelaskan tentang kepemimpinan para nabi yang diutus kepada kaumnya masing-masing, nabi Hud kepada kaum ‘Ad, nabi saleh kepada kaum Tsamud, nabi Syu’aib kepada kaum Madyan, itu kan dari kaumnya. Tetapi dari situ, dia (para nabi) berupaya untuk mengarahkan. Jadi seorang pemimpin itu tugasnya mengarahkan kepada jalan yang lebih baik. Jadi perubahan pasti harus ada, artinya apa yang sudah digapai sekarang itu lebih diperbaiki lagi, apa yang belum tergapai sekarang harus diwujudkan. Itukan salah satu tugas pemimpin.
Tentu saja harus disertai visi yang bagus. Kalau orang berbicara visi tidak sekedar gali lobang tutup lobang, pemimpin itu tidak sekedar menambal, tapi memang mempunyai visi kedepan. Dan dari visi itu ada upaya-upaya untuk mewujudkan visi dari berbagai lini. Jadi terencana, terprogram, dan butuh intelektual juga.
Kalau kembali kepada Alquran misalnya ada ayat dalam surat Yusuf ketika nabi Yusuf meminta supaya dijadikan bendahara di kerajaan, waktu itu terjadi paceklik, kemudian nabi Yusuf merasa dia punya ide, punya solusi, tetapi untuk menerapkannya ngga mungkin kalau dia ngga di posisi itu. Maka dia meminta (sebagaimana disebutkan dalam surat Yusuf ayat 55) :
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَىٰ خَزَائِنِ الْأَرْضِ ۖ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
Artinya: Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan". (Yusuf ayat 55).
Itukan permintaan nabi Yusuf. Maka nabi Yusuf saat itu, sama dengan kalau dia mencalonkan diri kan, menyodorkan dirinya, tetapi dengan syarat dia punya kapasitas. Dan kapasitasnya disitu adalah hafidzun ‘alim (orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan). Pertama, Hafidzun itu artinya punya kapasitas amanah, tentu saja juga dipercaya oleh orang. Kedua, dia punya keilmuan, dia punya kapabilitas. Jadi leadership harus ada, kapasitas intelektualitas, kapasitas leadership, kapasitas akhlak, harus ada dari seorang pemimpin.
Dalam konteks memilih pemimpin negara, seberapa penting memperhatikan aspek keberagaman dari seorang calon pemimpin? Misalnya melihat bagaimana pemimpin berinteraksi dengan Alquran dan lainnya.
Ya penting itu. Tapi sebenarnya yang tak kalah pentingnya adalah political will-nya dari sosok seorang pemimpin untuk tetap menjaga dan mempertahankan bahkan mengembangkan aspek keagamaan itu. Ya tidak sekedar dengan ibadahnya, tapi juga pengembangan itu kan penting. Yang lebih penting lagi, meskipun misalnya, sang calon itu agamanya minim, karena mungkin bidangnya lain, tapi dia punya rekam jejak yang baik terkait agama, dia bisa merangkul tokoh-tokoh agama, dia bisa memberikan nilai plus dalam pengembangan agama, kemudian konflik-konflik yang bernuansa SARA dia bisa selesaikan, dan punya visi baik untuk itu, itu juga kan bisa (jadi pertimbangan memilih). Apalagi kepemimpinan saat ini, dia juga harus dibantu oleh banyak orang. Kita juga harus melihat timnya, karena sekarang kan kolaborasi juga kan.
Jadi bukan cuma sosok pemimpinnya saja, tapi kita juga harus berpikir visinya dia kedepan seperti apa terkait agama, yang kedua, dia punya tim seperti apa.
Jadi sebaiknya memang harus bisa (menguasai aspek-aspek agamanya) tapi misalnya konteks di kita ini kan rata-rata semuanya Muslim kan, dan kalau dilihat lagi semuanya ada partai-partai Islam di masing-masing capres, dan tim-tim pemenangannya, atau simpatisannya, masing-masing juga ada ulamanya.
Kita mau lihat lagi sebenarnya siapa yang kira-kira lebih punya komitmen untuk mengembangkan agama. Baik dari segi kehidupan sosial, kemudian bagaimana memandang perbedaan agama di tengah masyarakat, terus mengembangkan pendidikan agama, kegiatan-kegiatan lain yang betul-betul memasyarakatkan agama itu.