REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) ke-11 Ahmad Taufan Damanik mengatakan, kasus pelanggaran HAM berat masa lalu bukan isu lima tahunan yang kerap muncul setiap pemilihan umum (pemilu).
"Bukan lima tahun, tapi seumur hidup akan terus dipersoalkan," kata panelis debat calon presiden (capres) 2024, Ahmad Taufan Damanik, saat dihubungi di Padang, Rabu (13/12/2023).
Bahkan, persoalan pelanggaran HAM berat masa lalu akan selalu menjadi topik pembahasan selama peristiwa itu belum diungkap secara jelas, dan transparan termasuk mengadili pihak-pihak yang terlibat.
Sebab, kata dia, masyarakat di Tanah Air tidak akan bisa begitu saja melupakan peristiwa kelam seperti hilangnya aktivis yang hingga kini tanpa kabar atau tragedi pembantaian tahun 1965 hingga 1966. Belum lagi kasus kekerasan dan pembunuhan di Tanah Papua maupun Aceh.
"Kan tidak mungkin (kasus) itu ditutup begitu saja," ujarnya menjelaskan.
Oleh karena itu, ia menegaskan persoalan pelanggaran HAM berat masa lalu bukan isu lima tahunan atau setiap pemilu saja. Bahkan, saat Taufan masih menjabat sebagai Ketua Komnas HAM, kasus itu terus dibahas bersama Presiden, Jaksa Agung, dan pihak lainnya.
Di satu sisi, ia mengakui upaya untuk mencari titik terang belasan kasus pelanggaran HAM berat bukan hal yang mudah. Hal itu diperburuk faktor impunitas yang masih begitu kental sehingga menyulitkan pengungkapan fakta.
Ia menyebutkan, pelanggaran HAM berat yang terjadi lebih dari 12 kasus. Hanya saja, kasus di Bener Meriah, Aceh Tengah, tidak dimasukkan karena belum sempat terpublikasi di buku Komnas HAM.
"Saya sudah pernah mengingatkan Pak Mahfud karena Komnas HAM sudah menyelesaikan yang ke-13, yakni di Aceh," ucap Ahmad.
Ia menjelaskan yang terpenting bukan jumlah kasus, namun bagaimana pemerintah atau presiden terpilih serius menyelesaikan pelanggaran HAM berat di antaranya penembakan misterius, kasus talang sari, dukun santet dan lain sebagainya.
"Jadi, ini (pelanggaran HAM berat) akan terus dipersoalkan orang," ujar dia.