Kamis 14 Dec 2023 07:04 WIB
Red: Agung Sasongko
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- “Aku tidak tahu kabar teman-teman sekolahku,” kata Hend Al-Doji, seorang anak di Gaza yang berusia 14 tahun. “Di sini aku tidak bisa belajar, buku-buku entah di mana,” katanya.
Yosra Abu Taim (12 tahun) pernah bermimpi untuk menjadi seorang guru ketika dia besar nanti. Namun, sekarang dia hanya punya mimpi untuk dapat bertahan hidup. “Kami tidak pernah bisa tidur, kami kedinginan karena tidur beralaskan tanah,” kata Yosra.
Iklaas Hanoun yang masih berusia 10 tahun, mengkhawatirkan keselamatannya. “Aku takut berikutnya giliranku untuk mati," katanya.
Pejabat Hamas mengatakan bahwa sebagian besar dari 266 sekolah di Gaza telah hancur, termasuk 67 sekolah yang sudah tak dapat digunakan sama sekali. PBB laporkan sekitar 1,9 juta orang, atau 86 persen penduduk di Gaza telah meninggalkan rumah mereka untuk mengungsi. Pada Ahad (10/12), tank-tank Israel maju ke jantung Kota Khan Younis, dan menginstruksikan warga sipil untuk mengamankan diri ke Rafah. Kantor PBB untuk Urusan Kemanusiaan (OCHA) mengatakan puluhan ribu orang telah tiba di Rafah selama sepekan terakhir.
Warga Gaza yang terpaksa mengungsi berulang kali mengaku putus asa dengan kurangnya bantuan dan harga yang melambung tinggi, sehingga menyebabkan orang-orang kelaparan dan kedinginan. Para pemimpin Israel mengatakan puluhan pejuang Hamas ‘telah menyerah’. Namun, Hamas membantahnya dan menyebut klaim tersebut ‘salah dan tidak berdasar’.
Kementerian Kesehatan yang dikelola Hamas mencatat hampir 18 ribu orang tewas di Gaza, didominasi perempuan dan anak-anak, sementara pihak Israel katakan 1.200 orang tewas di Israel sejak perang pecah pada 7 Oktober. Sepanjang 2008-2022, OCHA memerinci 6.180 warga Palestina tewas akibat pendudukan dan konflik, sementara korban tewas Israel mencapai sekitar 279 jiwa selama periode yang sama.