REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kalangan tokoh dan umat Buddha Indonesia sangat berharap rencana pemasangan chattra atau payung di puncak Candi Borobudur segera bisa diwujudkan. Pemasangan chattra diyakini akan semakin memperkuat aspek spiritualitas dan menjadi kesempurnaan Borobudur sebagai tempat peribadatan. Tak sebatas untuk umat Buddha, pemasangan ini juga akan menjadi energi baru bagi Indonesia.
Dirjen Bimas Buddha Kemenag Supriyadi mengatakan, pemasangan chattra di Candi Borobudur menjadi salah satu concern Menag Yaqut Cholil Qoumas dalam mewujudkan Borobudur sebagai tempat ibadah bagi umat Buddha Indonesia dan dunia. Pemasangan chattra yang telah menjadi impian lama umat dan tokoh Buddha akan menjadi babak baru dalam optimalisasi dan pengembangan Candi Borobudur. Lewat pemahaman, kesadaran dan tanggung jawab bersama itu, diharapkan Borobudur menjadi destinasi yang kian memikat orang untuk datang tanpa sedikitpun menggerus aspek perlindungan kecagarbudayaan.
Bagi umat Buddha, lanjut Supriyadi, pemasangan chattra diyakini memberikan dampak spiritualitas yang sangat mendalam. Apalagi saat pemugaran Borobudur yang dipimpin Theodoor van Erp pada kurun 1907-1911 silam, chattra diyakini pernah terpasang megah di puncak stupa utama.
Tak hanya itu, sejarah adanya chattra ini juga telah banyak diceritakan dalam berbagai kitab ataupun literatur. Seperti dalam kitab Lalitawistara Sutra yang menyebut kata payung berkali-kali. Tak hanya itu, kitab Lalitawistara Sutra ini juga terukir dalam 120 keping relief di badan Candi Borobudur.
“Penggunaan kata payung dapat ditemukan dalam Gandawyuha Sutra. Kitab ini mengisahkan Sudhana yang berkelana demi belajar kepada lebih dari 50 orang guru untuk mengejar pencapaian ‘Pencerahan Sempurna’. Dalam kisah tersebut, Sudhana digambarkan sebagai seorang pemuda yang selalu memiliki sebuah payung yang melindunginya. Gambaran payung tersebut terukir dalam 332 keping relief di Candi Borobudur,” sebutnya di Jakarta, Kamis (14/12/2023).
Selain tertuang dalam Lalitawistara Sutra dan Gandawyuha Sutra, kata Supriyadi, istilah chattra juga ditemukan dalam kisah-kisah Jataka, Awadana dan Karmawibhangga Sutra. Kisah-kisah Jataka dan Awadana pun terukir dalam 720 keping relief di Candi Borobudur. Payung tersebut tergambar di mana para brahmin dilindungi oleh payung di atas kepalanya.
Dijelaskan Supriyadi, melalui ruang interpretasi keagamaan (Buddha), dapat ditemukan pula kesatuan pandangan bahwa kepingan batu-batu secara nyata ada dan ditemukan di Candi Borobudur sebagai payung. Chattra pernah terpasang di tempat yang paling mulia pada masanya.
“Dengan fakta ini, sesuai arahan Gus Men, keputusan untuk memasang kembali chattra merupakan upaya dalam menyempurnakan Borobudur sebagai Pusat Kunjungan Wisata Religi Agama Buddha Indonesia dan Dunia,” katanya menegaskan.
Dukungan para pihak
Dukungan terkait chattra, kata Supriyadi, secara masif juga disampaikan oleh seniman, budayawan, akademisi dalam dan luar negeri serta sejumlah perwakilan umat Buddha dari berbagai wilayah Indonesia. Hal ini misalnya muncul saat Dirjen Bimas Buddha bersama Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) menggelar dialog bertajuk “Chattra dalam Sudut Pandang Teologi Buddhis dan Arkeologi” di kampus Universitas Negeri Malang, 25 November 2023.
Bhante Ditthisampanno yang hadir saat itu, menyampaikan chattra sangat dekat dengan pandangan serta ajaran agama Buddha. Secara harfiah, chattra bermakna payung atau pelindung yang merupakan mahkota sehingga dipasang puncak stupa. Selain perlindungan, chattra juga bisa bermakna sebagai bentuk keberanian dan simbol kesucian tahapan spiritualitas.
“Chattra itu melambangkan kesatuan unsur, sehingga secara spiritual akan memberikan penguatan dan juga pengembangan keyakinan bagi umat Buddha. Dari sisi spiritualitas pemasangan chattra jelas akan menambah kesempurnaan dari Candi Borobudur. Kami dari agamawan dan para biksu sangat mendukung sekali pemasangan chattra kembali,” ujar Bhante.
Bhante Ditthisampanno mendorong agar Borobudur terus dikembangkan dari aspek kemanfaatan. Tak sebatas untuk peningkatan nilai spiritual, pengembangan candi terbesar di dunia ini juga bisa dilakukan pada sisi lain, utamanya pariwisata dunia. Upaya ini diyakini tidak sulit karena pemerintah juga memiliki kebijakan yang searah, yakni menjadikan Candi Borobudur sebagai Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP).
Anu Mahanayaka Sangha Agung Indonesia, Biksu Bhadra Ruci juga menilai Candi Borobudur sebagai sebuah mandala tak akan terpisahkan dari elemen chattra atau payung mulia. Dari aspek tantra, chattra akan selalu ditemukan dalam praktik harian persembahan mandala seorang praktisi buddhis. Dalam praktik meditasi mandala tantra, ornamen chattra pun selalu hadir dalam visualisasi.
Keberadaannya tak sekadar menjadi hiasan belaka, tetapi juga mengandung makna dan fungsi spiritualitas tertentu. Ini sebagaimana dinyatakan dalam Arya Manggala Kuta Nama Mahayana Sutra, “Karena kepala Buddha adalah payung pelindung yang jaya.” Dari sini jelas bahwa ketiadaan chattra ibarat tubuh tak berkepala.
Stanley Khu, Dosen Antropologi Universitas Diponegoro berpandangan, pemasangan chattra di tidak hanya penting dari perspektif filosofis atau arkeologis belaka. Pemasangan ini juga memengaruhi tata-cara keagamaan umat Buddha di Indonesia, khususnya generasi muda.
“Dengan kata lain, dipasang atau tidaknya chattra adalah juga persoalan mengenai bagaimana generasi Buddhis saat ini dan yang akan datang memaknai posisi Borobudur dalam imajinasi keagamaan dan proyek etis mereka,” katanya menerangkan.
Menurut Stanley, chattra akan menjadikan Borobudur sebagai ruang hidup yang dapat dimasuki umat Buddhis dalam sebuah dialog spiritual antara diri dan potensi kebuddhaan. Dengan perantara chattra, stupa tidak lagi sekadar berupa tumpukan batu biasa, tetapi dapat pula dibayangkan sebagai perlambang batin Buddha yang senantiasa hadir bersama umat dalam upaya sadar dan bertahap untuk menapaki jalan pencerahan.
Selain diusulkan umat dan tokoh Buddha, pada saat digelar Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pengembangan Lima DPSP di Borobudur, 21 Juli 2023 , rencana pemasangan chattra ini juga mendapat dukungan dari pemerintah. Rakornas ini dihadiri Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Menag Yaqut Cholil Qoumas, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahudin Uno, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Azwar Anas, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (Menteri ATR/BPN) Hadi Tjahjanto dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
Kemenag memandang berbagai perspektif di tengah rencana pemasangan chattra ini justru merupakan hal positif. Kemenag mendorong berbagai pandangan ini bisa dijembatani secara positif agar terwujud kesepemahaman baru yang konstruktif.
Pemasangan chattra merupakan upaya dalam menyempurnakan Candi Borobudur sebagai Pusat Kunjungan Wisata Religi Agama Buddha Indonesia dan Dunia. Umat Buddha yang berkunjung ke Candi Borobudur diharapkan akan mendapatkan nilai spiritual kebudayaan dengan memperhatikan kepentingan pelestarian candi sebagai world heritage (cagar budaya), sekaligus sebagai bangunan keagamaan yang suci. Ini juga menjadi penegas bahwa pemasangan chattra bukanlah bertujuan membahayakan candi, tetapi sebaliknya justru menciptakan keagungan dan perlindungan yang tinggi terhadap Borobudur.