Jumat 15 Dec 2023 20:52 WIB

Ekonomi Global Masih tak Pasti karena Genosida di Palestina

AS telah menunjukkan tingkat suku bunga yang sudah pada titik puncaknya.

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Lida Puspaningtyas
Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan keterangan terkait Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Kita 2023 di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (15/12/2023). Sri Mulyani menyebutkan APBN mengalami defisit Rp35 triliun sampai 12 Desember 2023 akibat realisasi belanja negara lebih besar dari realisasi pendapatan negara.
Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan keterangan terkait Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Kita 2023 di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (15/12/2023). Sri Mulyani menyebutkan APBN mengalami defisit Rp35 triliun sampai 12 Desember 2023 akibat realisasi belanja negara lebih besar dari realisasi pendapatan negara.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, kondisi global masih diliputi ketidakpastian hingga akhir 2023. Itu diperparah oleh kondisi geopolitik di beberapa negara.

Misalnya perang antara Ukraina-Rusia dan perang di Timur Tengah, kata dia, terutama Israel-Palestina belum menunjukkan tanda-tanda berakhir. Geopolitik itu, sambungnya, dapat menimbulkan sisi down risk terhadap prospek melemahnya pertumbuhan ekonomi dan inflasi tinggi.

Baca Juga

“Sentimen global juga akan dipengaruhi, yang akan menimbulkan volatilitas di sektor keuangan. Prospek dari perang yang belum berakhir dan bahkan mungkin akan melebar dan menimbulkan tekanan proteksionisme dan melemahkan perdagangan global,” tutur dia dalam konferensi pers, Jumat (15/12/2023).

Sementara, sambungnya, kondisi di negara maju seperti Amerika Serikat (AS) masih menunjukkan inflasi di atas target. Lalu suku bunga yang tinggi atau higher for longer.

Walau demikian, kata dia, AS telah menunjukan tingkat suku bunga yang sudah pada titik puncaknya. Lalu tekanan fiskal di AS masih tinggi dan excess saving masyarakat pun tergerus inflasi.

Menurutnya, itu akan membayangi prospek pelemahan ekonomi AS. Meski begitu, kata dia, AS cukup optimis tidak akan mengalami resesi seperti yang dikhawatirkan bagi perekonomian Amerika pada tahun lalu.

Sementara, untuk Tiongkok masih bergulat dengan kondisi pelemahan ekonominya yang juga belum menunjukan akan berakhir. Disebabkan karena faktor struktural seperti krisis sektor properti, ageing dan pengangguran usia muda tinggi.

Berikutnya, sambungnya, di Eropa perekonomian di negara tersebut sudah melemah cukup tajam. Di Inggris pun mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement