Ahad 17 Dec 2023 06:11 WIB

Muhammadiyah Tegaskan Ketahanan Pangan Indonesia Harus Diwaspadai

Kondisi suhu bumi yang terus meningkat akan menyebabkan kekeringan.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Yusuf Assidiq
Logo Muhammadiyah.
Foto: Antara
Logo Muhammadiyah.

REPUBLIKA.CO.ID, BANTUL -- Kondisi ketahanan pangan Indonesia ke depan harus diwaspadai. Hal ini dapat terlihat dari gejala yang menunjukkan adanya potensi gangguan ketahanan pangan yang merupakan dampak dari menipisnya persediaan air karena kenaikan suhu permukaan bumi.

Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Syamsul Anwar mengatakan, bahwa hingga 2023, bumi telah mengalami peningkatan suhu panas bumi 1,2 derajat Celcius dibandingkan dari masa-masa sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh perkembangan pesat perindustrian.

Ia mengatakan, kondisi suhu bumi yang terus meningkat akan menyebabkan kekeringan yang berdampak pada pertanian yang menjadi penyedia bahan pangan. Sehingga menurutnya, kondisi iklim bumi  tidak terlalu optimis ke depan.

“Oleh karena itu, kajian yang diusung Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah bekerja sama dengan  LPPI UMY menjadi sangat urgen dan relevan sekali," ujarnya dalam Seminar Nasional Fikih Ketahanan Pangan Pimpinan Pusat Muhammadiyah bersama dengan Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) di ruang sidang AR Fakhruddin A lantai 5 UMY, Sabtu (16/12/2023).

Menurut Syamsul, hal itu dilakukan guna berkontribusi dalam memecahkan salah satu dari problem umat manusia. Dalam hal ini untuk mempertahankan keberlangsungan dari kondisi pangan Indonesia sesuai dengan tuntunan dan aspek-aspek keagamaan.  

“Menjadi sangat penting bagaimana kita dapat menggali kearifan religius yang dituangkan di dalam kitab suci Alquran dan sunnah Nabi Muhammad SAW dan menjadikan keduanya sebagai motivasi yang memberikan arah bagi tingkah laku masyarakat dalam melindungi bumi kita,” ujarnya.

Dalam laporan keadaan ketahanan pangan dan gizi di dunia pada 2021 dari PBB, proyeksi ketahanan pangan saat ini menunjukkan, bahwa dunia belum berada pada jalur yang tepat untuk mencapai tujuan kedua dari pembangunan berkelanjutan, yaitu tanpa kelaparan pada 2030.

Menurut laporan tersebut, meskipun terdapat beberapa kemajuan, namun sebagian besar indikator  juga belum berada pada jalur yang tepat untuk memenuhi target nutrisi global.

“Status ketahanan pangan dan gizi kelompok masyarakat yang paling rentan kemungkinan akan semakin memburuk akibat dari pandemi Covid 19 yang lalu," tegas dia.

Adapun di Indonesia, data statistik ketahanan pangannya menunjukkan bahwa berbagai daerah memiliki tingkat ketahanan pangan yang beragam.

“Ada daerah yang memiliki tingkat ketahanan pangan yang sangat baik, tetapi ada pula yang memiliki tingkat ketahanan pangan yang rawan,” ungkap Syamsul.

Dari keseluruhan kabupaten/kota di Indonesia yang berjumlah 514 (416 kabupaten, 98 kota), sebanyak 74 kabupaten/kota, yaitu 70 kabupaten dan empat kota atau 16,4 persen memiliki indeks ketahanan pangan atau IKP yang rendah pada 2022. Dua kabupaten terendah skor IKP-nya yang  pertama adalah Kabupaten Nduga di Provinsi Papua Pegunungan dengan IKP 15,66.

Kedua, Kabupaten Intan Jaya di Provinsi Papua Tengah dengan skor IKP-17,21. Sedangkan kabupaten paling tinggi skor IKP-nya adalah Kabupaten Tabanan di Provinsi Bali dengan skor IKP 92,20 dan berikutnya adalah Kabupaten Bandung di Jawa Barat dengan skor IKP 91,29.

Kemudian kota yang juga dengan skor IKP terendah adalah kota Subulussalam di Provinsi Aceh yang memilih skor IKP 23,93. berikutnya adalah kota Gunungsitoli di Provinsi Sumatra Utara dengan skor IKP 43,7.

“Sebaliknya kota yang memiliki skor IKP tertinggi pada 2022 adalah Denpasar yang memiliki skor 91,82 dan Balikpapan di Kalimantan Timur 89,47,” katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement