REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, mengapresiasi langkah cepat Polda Metro Jaya. Khususnya, dalam menangani kasus dugaan pemerasan terhadap mantan menteri pertanian (Mentan) Syahrul Yasi Limpo oleh Ketua non-aktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri.
"Saya tetap memberikan apresiasi kepada penyidik Polda Metro Jaya yang akhirnya merampungkan berkas dan sudah dikirim ke penuntut umum di Kejati DKI Jakarta," kata Boyamin saat dikonfirmasi di Jakarta, Ahad.
Menurut Boyamin, perlu kerja keras bagi penyidik Polda Metro Jaya untuk merampungkan kasus tersebut. Hal ini sesuai dengan amanat konstitusi, Pasal 25 UU Pemberantasan Korupsi bahwa perkara korupsi harus ditangani dengan cepat dari perkara pidana lainnya.
"Memang amanatnya begitu, jadi saya kira ya cepatlah tiga bulan selesai, karena Oktober, November, Desember, saya kira ini sudah sangat cepat," katanya lagi.
Padahal, ujar dia lagi, kasus ini terbilang rumit karena melibatkan Ketua KPK, yang pasal sangkaannya diduga pemerasan, suap ataupun gratifikasi.
"Ini kan perlu pembuktian yang rumit karena memang tidak ada bukti penyerahan uangnya secara langsung, misalnya transfer kan tidak mungkin juga," ujarnya.
Dengan telah dilimpahkannya berkas perkara ke penuntut, Boyamin berharap, segera ada kepastian dari kejaksaan terkait kelengkapan berkas agar segera dibuktikan di persidangan.
Kejaksaan memiliki waktu 14 hari untuk meneliti berkas dan menyatakan lengkap untuk selanjutnya dilaksanakan pelimpahan tahap II (tersangka dan barang bukti).
Namun di sisi lain, Boyamin kecewa, karena hingga berkas perkara dilimpahkan ke kejaksaan, penyidik tidak menahan Firli Bahuri.
"Saya apa pun memberikan apresiasi meskipun di satu sisi saya kecewa, karena sampai pemberkasan selesai tersangka tidak ditahan, padahal ini kewenangannya penuh penyidik untuk dilakukan penahan sejak jadi tersangka," katanya.
Menurut dia, perkara korupsi mana pun itu, sebagian besar atau hampir seluruhnya tersangkanya ditahan, karena ancamannya memang di atas lima tahun, apalagi Firli Bahuri tidak kooperatif di awal pemeriksaan, sering mangkir dengan berbagai alasan.
Maka semestinya, ini ditahan supaya ada rasa keadilan masyarakat terpenuhi, terlebih tersangka adalah Ketua KPK yang dipercaya memberantas korupsi, diduga korupsi bahkan memeras atau menerima gratifikasi atau suap.
"Itu kan sudah bentuk pengkhianatan, minimal yang bertemu Syahrul Yasin Limpo di lapangan bulu tangkis, jelas membuktikan, padahal harusnya Ketua KPK tidak boleh bertemu, sesuai Pasal 36 UU KPK," kata Boyamin.
Menurut Boyamin, tidak ditahannya Firli oleh penyidik akan berdampak negatif pada kinerja institusi Polri dan Kapolri.
"Jadi ini mestinya penyidik ada kekurangan menurut saya, di satu sisi kerja cepatnya kita apresiasi, bahwa tidak ditahannya ya saya kecewa," katanya lagi.
Boyamin kembali berharap setelah pelimpahan berkas segera dilakukan penahanan untuk melengkapi proses hukum di mana tersangka ditahan.
Penahanan ini tidak terkait dengan praperadilan yang diajukan Firli Bahuri, karena materi tuntutannya adalah penetapan tersangka, bukan penahanan. Boyamin menilai, jika penyidik berani menahan artinya bukti dimiliki kuat, begitu pula sebaliknya.
Dia juga mengingatkan, kasus Firli sudah menjadi perhatian publik. Masyarakat sudah mulai banyak berkomentar ini di media sosial. Salah satunya, faktor Firli tidak ditahan karena sama-sama anggota Polri, sehingga ada pengistimewaan.
"Karena apa pun Firli adalah jenderal bintang tiga yang kemudian mendapatkan keistimewaan ketika jadi tersangka tidak ditahan," kata Boyamin.
Sebelumnya, Polda Metro Jaya telah melimpahkan berkas perkara Ketua nonaktif KPK Firli Bahuri ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta dalam kasus dugaan pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo pada Jumat pukul 09.30 WIB.