REPUBLIKA.CO.ID, GAZA – Kepala Staf Umum Pasukan Pertahanan Israel (IDF), Mayor Jenderal Herzi Halevi mengeklaim, pasukannya telah menyandera lebih dari 1.000 orang dalam peperangan melawan Hamas di Jalur Gaza. Dia menyebut, IDF menggali informasi-informasi intelijen dari para tawanan tersebut.
Halevi mengatakan, ketika para anggota Hamas memilih meletakkan senjatanya, pasukan Israel tidak menembak mereka. Ia menyebut IDF menangkapnya.
"Kami mendapatkan banyak informasi intelijen dari para tawanan yang kami miliki, kami sudah memiliki lebih dari seribu (tawanan)," kata Halevi dalam video yang didistribusikan oleh militer, Ahad (17/12/2023).
Komentar Halevi muncul setelah pasukan Israel secara tidak sengaja menembak mati tiga warga Israel yang disandera Hamas di Gaza. Tiga warga Israel tersebut ditembak ketika mereka mengibarkan bendera putih tanda ingin menyerah. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyebut kejadian itu sebagai tragedi yang tak tertahankan.
"Bersama seluruh rakyat Israel, saya menundukkan kepala dalam kesedihan yang mendalam dan berduka atas jatuhnya tiga putra tercinta kami yang disandera," kata Netanyahu lewat akun X resminya, Jumat (15/12/2023).
Netanyahu mengatakan, pihaknya berduka atas peristiwa tersebut dan pelajaran penting akan diambil dari kejadian itu. Menteri Pertahanan Israel turut menyampaikan rasa dukanya atas terbunuhnya tiga warga Israel oleh pasukannya sendiri.
Gallant menggambarkan peristiwa tersebut sebagai hal menyakitkan bagi setiap warga Israel. "Kita harus tetap tangguh dan terus melakukan operasi (di Gaza), demi para sandera, warga negara, dan tentara kita," katanya.
Pada 24 November hingga 1 Desember 2023 lalu, Israel dan Hamas sempat memberlakukan gencatan senjata kemanusiaan. Selama periode tersebut, kedua belah pihak melakukan pertukaran pembebasan tahanan dan sandera.
Hamas membebaskan 105 sandera. Mereka terdiri dari 80 warga Israel dan sisanya adalah warga asing. Sebagai imbalan atas pembebasan para sandera, Israel membebaskan 210 tahanan Palestina.