REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mata uang rupiah di akhir perdagangan Senin (18/12/2023) melemah dipengaruhi sentimen arah kebijakan suku bunga acuan Amerika Serikat (AS).
"Dolar AS menguat terhadap mata uang utama, termasuk euro, poundsterling dan yen Jepang, didorong pernyataan dari para pejabat The Fed," kata Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede.
Beberapa pejabat Fed mengisyaratkan bahwa Bank Sentral AS atau The Fed belum mempertimbangkan penurunan suku bunga lebih awal pada 2024. Presiden Fed New York, John Williams, menyatakan masih terlalu dini untuk memikirkan kebijakan penurunan suku bunga, terutama karena para pejabat masih mempertimbangkan apakah suku bunga saat ini cukup untuk mendorong inflasi menuju 2 persen.
Sementara itu, Presiden Fed Atlanta, Raphael Bostic, berpendapat bahwa ia hanya memperkirakan dua kali penurunan suku bunga pada 2024 yang akan terjadi mulai paruh kedua di 2024.
Selain itu, Josua mengatakan data Purchasing Managers' Index (PMI) Jasa AS secara mengejutkan naik menjadi 51,3 dari 50,8, sehingga mendukung penguatan indeks dolar AS sebesar 0,58 persen menjadi 102,55.
Di sisi lain, rupiah cenderung melemah setelah data neraca perdagangan Indonesia yang mencatat surplus lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya. Surplus neraca perdagangan turun menjadi 2,41 miliar dolar AS pada November 2023 dari 3,47 miliar dolar AS pada Oktober 2023 seiring dengan meningkatnya impor minyak karena kuatnya permintaan dalam negeri.
Pada penutupan perdagangan Senin, rupiah melemah sebesar 17 poin atau 0,11 persen menjadi Rp 15.510 per dolar AS dari penutupan sebelumnya sebesar Rp 15.493 per dolar AS.
Sementara Kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia pada Senin tergelincir ke level Rp 15.516 per dolar AS dari posisi sebelumnya Rp 15.503 per dolar AS.