REPUBLIKA.CO.ID, PADANG--Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud Md, menjelaskan perbedaan antara politik identitas dan identitas politik. Penjelasan itu disampaikan kepada mahasiswa Universitas Bung Hatta, Padang, Sumatra Barat, pada Senin (18/12/2023).
"Politik identitas itu memang tidak boleh, kalau identitas politik itu boleh," kata Mahfud MD di Universitas Bung Hatta, Sumatra Barat, Senin.
Mahfud menjelaskan politik identitas merupakan cara berpolitik yang mengutamakan kelompok primordial untuk kemudian menganggap pihak lain sebagai lawan atau musuh. Sebaliknya, identitas politik diperbolehkan termasuk dalam menentukan calon pemimpin.
Sebagai contoh, pemeluk Muslim memilih calon dari barisan islam dengan harapan aspirasinya ditampung oleh calon tersebut.
"Contoh lain, saya orang Minangkabau maka saya memilih calon dari etnis Minangkabau, itu dibolehkan. Namun, yang tidak boleh ialah orang Minangkabau memilih orang Minangkabau dengan tujuan menghabisi etnis lain apabila calon yang diusungnya terpilih. Hal tersebutlah yang disebut dengan politik identitas," ujar Mahfud.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ke-2 tersebut mengatakan identitas politik merupakan sebuah keniscayaan atau tidak bisa dihalangi. Sebab, bagaimanapun seseorang cenderung memilih karena faktor identitasnya.
"Itulah demokrasi. Yang penting adalah kesatuan bangsa," ujarnya mengingatkan.
Dalam kuliah umumnya, tokoh kelahiran Sampang 1957 tersebut mengatakan pemilihan umum (pemilu) memang mempunyai potensi menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat.
Pada umumnya, potensi perpecahan tersebut muncul akibat adanya kelompok tertentu yang mengedepankan politik identitas, bukan identitas politik.
Oleh sebab itu, Mahfud mengajak semua elemen masyarakat untuk menciptakan rasa kerukunan yang mengedepankan persatuan bangsa.