REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom dan Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai transisi menuju ekonomi hijau memiliki kemampuan untuk menekan kasus korupsi di Indonesia.
Hal itu disebabkan transisi ekonomi hijau dapat mengurangi ketergantungan pada sektor ekonomi ekstraktif yang rentan dengan praktik-praktik korupsi.
Menurut Bhima, banyak sekali laporan pendanaan dari pertambangan ilegal, juga ada korupsi soal perizinan atau mendapat suap dari pengusaha. "Kita perlu membenahi ini, sehingga ketika transisi, tata kelola dari sisi energi dan ekonomi menjadi lebih baik," kata Bhima saat kegiatan Launching Policy Brief Greenpeace Indonesia dan CELIOS: Nasib Transisi Ekonomi Hijau di Tahun Politik di Jakarta, Selasa (19/12/2023).
Di samping itu, Bhima menyebut transisi ekonomi hijau juga bisa menurunkan tingkat ketimpangan. Berdasarkan hasil modelling yang ia lakukan, indeks Wiiliamson makin melandai ketika transisi ke ekonomi hijau diterapkan.
Indeks Williamson menjelaskan ketimpangan pendapatan per kapita antarwilayah dengan rentang nilai 0 (tanpa ketimpangan) hingga 1 (ketimpangan mutlak). Dengan demikian, makin tinggi nilai indeks Williamson, maka makin tinggi ketimpangan pendapatan per kapita antardaerah. Dalam skemanya, transisi ekonomi hijau dapat menurunkan indeks Williamson dari 0,74 menjadi 0,65.
"Praktik ekonomi ekstraktif itu menciptakan ketimpangan, karena uang dari hasil tambang mengalir ke Jakarta. Sementara masyarakat lokal, meski makin banyak pabrik, kemiskinannya juga makin tinggi. Maka kami ingin mengubah pola ekonomi ekstraktif yang membuat timpang dengan pola ekonomi lainnya," ujar dia.
Secara umum, ia meyakini transisi ekonomi hijau dapat mendorong partisipasi yang lebih terbuka serta tata kelola yang baik, yang pada akhirnya melindungi ekonomi Indonesia agar tidak mengalami gejolak yang tidak bisa diprediksi. "Untuk melindungi ekonomi Indonesia naik turun tanpa diprediksi, itu bisa dijawab dengan transisi energi yang lebih baik," kata Bhima.